Sabtu, 30 April 2011

Nenek Weng dan Menantu Perempuan By. Merlin Herlina

Diposting oleh eva yuanita di 4/30/2011 09:52:00 PM
Nenek Buyutku dari pihak Ayah adalah seorang wanita Tionghoa asli kelahiran China daratan, tepatnya di Propinsi Guandong, Kabupaten Khaiphing, China bagian selatan. 
Beliau lahir pada penghujung abad ke-19, di sebuah keluarga kurang mampu yang punya kebiasaan untuk tidak menamai anak perempuan. Nama panggilannya kala itu hanya Ai Sam Ndui, yang jika diartikan dari bahasa Guandong Khaiphing berarti 'Anak Perempuan Ketiga'. 
Nenek Buyut menikah dengan Kakek Buyut ketika usianya masih sangat muda seperti pada umumnya kebiasaan zaman itu. Kakek Buyutku bernama Ciang Wengwah atau Zhang Wenhua, dalam dialek Mandarin hanyu pinyin. Orang-orang sekampungnya biasa memanggilnya Weng Pa—singkatan dari Weng Appa yang berarti Paman Weng. 
Maka, setelah menikah, Nenek Buyut tidak lagi dipanggil sebagai Ai Sam Ndui. 
Orang-orang mulai memanggilnya sesuai dengan nama suaminya. Weng Mbu, begitulah panggilannya, singkatan dari Weng Ambu yang berartu Bibi Weng. 
Ketika Weng Appa dan Weng Ambu telah memiliki cucu, panggilan mereka kembali berubah menjadi Kakek dan Nenek Weng. Untuk selanjutnya, aku akan memakai nama panggilan tersebut dalam cerita kali ini dan beberapa cerita selanjutnya. *** 
Pada awal pernikahan mereka, Kakek dan Nenek Buyut dikaruniai dua orang putra namun keduanya tidak berumur panjang. Kedua bocah itu meninggal ketika masih kecil akibat sakit. Kakek dan Nenek Buyut lalu dikaruniai seorang putri yang diberi nama Yen Ndui—Gadis Walet. Di kemudian hari, Yen Ndui inilah yang dianggap sebagai anak sulung mereka. 
Pada saat Yen Ndui berusia lima tahun, Kakek Buyut meninggalkan China menuju Nan Yang (nama lama untuk kepulauan Indonesia dalam bahasa Mandarin). Kepergian Kakek Buyut ke Nan Yang ini adalah untuk merantau dan memperoleh kehidupan yang lebih baik ketimbang hanya menjadi petani miskin di China. 
Setelah bertahun-tahun Kakek Buyut meninggalkan China, Nenek Buyut memutuskan untuk menyusulnya ke Nan Yang. Namun karena tidak mempunyai cukup uang, Nenek Buyut terlebih dahulu menikahkan putri sulungnya yang baru berusia tigabelas tahun dengan seorang juragan kaya. Pada setiap pernikahan Tionghoa tradisional, biasanya mempelai pria akan memberikan 'uang lamaran' dalam angpao merah. Uang tersebut ditujukan kepada calon Ibu Mertua sebagai ungkapan terima kasih karena dianggap telah membesarkan putrinya (calon mempelai wanita) dengan baik. 
Dalam beberapa keluarga, ada calon Ibu Mertua yang hanya mau mengambil seperempat atau separuh dari uang lamaran tersebut. Sisanya biasanya dimasukkan lagi ke dalam angpao dan dikembalikan kepada mempelai pria. Mengambil uang lamaran secara keseluruhan dianggap seperti menjual anak gadis sendiri. Namun waktu itu Nenek Buyut tidak punya pilihan. Beliau sangat membutuhkan uang tersebut! Maka, diambilnya semua uang lamaran itu tanpa memedulikan gunjingan dari sanak-keluarga serta kenalan yang menyaksikannya. 
Dengan uang itulah Nenek Buyut naik kapal laut menyusul suaminya di Nan Yang. Setelah sebelumnya sempat tersesat di beberapa kota, Nenek Buyut pada akhirnya berhasil juga bertemu dengan suaminya. Setelah sepasang suami-istri itu bertemu kembali, beberapa tahun kemudian mereka kembali dikaruniai empat orang anak. Namun di antara keempatnya, hanya dua orang yang bertahan hidup. Salah satu di antaranya adalah Ciang Kuangthing, yang merupakan cikal-bakal Kakekku dari pihak Ayah. *** 
 Putra satu-satunya Kakek dan Nenek Buyut itu lahir pada bulan April tahun 1919. 
Dia diberi nama Kuangthing, atau Guangting (dalam dialek Mandarin hanyu pinyin). Kuang dalam nama Kuangthing hurufnya sama dengan kuang dalam kata Kuangtong. Sedang thing adalah sebutan untuk bungalo kecil yang biasa terdapat pada taman-taman tradisional China kuno. Secara samar, Kakek Buyut hendak mengingatkan putranya agar tidak melupakan asal-usulnya lewat nama yang diberikan. 
Karena merupakan anak lelaki, pendidikan Kakek amat diperhatikan oleh Ayahnya. Kakek Buyut menyekolahkannya di Chinese Lagere School—sekolah khusus bagi anak-anak Tionghoa dengan bahasa pengantar Belanda dan Mandarin. Lulus dari sana, Kakek melanjutkan sekolahnya ke SMP dan SMA milik yayasan Belanda. Alhasil, Kakek lebih fasih berbicara bahasa Belanda dan Inggris ketimbang Mandarin. Cara berpikir Kakek pun mengikuti pola pikir efektif orang Eropa. Beliau sangat realistis dan logis. Berlawanan sekali dengan Ibunya yang kolot serta percaya takhayul. 
Setamat SMA, Kakek diterima bekerja di sebuah Commanditer Vennootschap alias CV, milik orang Belanda. Karena terkesan oleh kecerdasan Kakek, perusahaan tempatnya bekerja itu menawarkan beasiswa agar Kakek bisa kuliah di Belanda. Akan tetapi hal ini ditentang oleh Nenek Buyut. 
"Kamu adalah anak laki-laki kami satu-satunya. Mana mungkin kami rela membiarkanmu jauh-jauh pergi dari keluarga ini...." Nenek Buyut memberi alasan yang disetujui oleh suaminya.
Maka, Kakek hanya bisa memendam keinginannya untuk bisa sekolah keluar negeri. Beliau tetap bekerja dengan tekun di perusahaan tersebut dan dalam beberapa tahun saja sudah menempati posisi yang cukup menyenangkan. Karena kecakapan serta sifatnya yang mudah bergaul, Kakek memiliki banyak kawan, termasuk beberapa petinggi di kantor tersebut. 
Pada masa itu, sebagian orang Tionghoa masih memegang tradisi memilih nama hao atau nama julukan, ketika menginjak usia dewasa antara 18-20 tahun. Biasanya, nama hao mencerminkan karakter, prestasi atau tempat tinggal seseorang. Setelah satu tahun bekerja di CV Belanda itu, Kakek pun memilih nama hao-nya.Waktu itu usianya baru memasuki duapuluh tahun. Nama hao yang dipilihnya adalah Phoeikit, yang dalam bahasa Mandarin hanyu pinyin diucapkan Peijie. Phoei atau Pei berarti 'kawal'. Kit atau jie berarti pesohor. Maka, makna nama hao Kakek tidak lepas dari gambaran kesehariannya yang senantiasa bergaul dengan orang-orang yang berposisi tinggi di kantornya.
Mulai saat itu, Kakek pun biasa dipanggil Ciang Phoeikit alias Putra Keluarga Ciang yang Dikawal para Pesohor. 
Selain memilih nama hao, Kakek juga memilih nama berabjad latin guna memudahkan panggilannya di kalangan kawan-kawan Belanda-nya.Orang-orang Eropa kadang kala kesulitan dalam menyebut nama-nama China sehingga lafalnya sering keliru. Nama latin yang dipilih Kakek bagi dirinya adalah Eddy Haris. Puluhan tahun kemudian, ketika Indonesia sudah merdeka dan pemerintah mengharuskan orang-orang Tionghoa mengganti nama Tionghoa mereka, Eddy Haris inilah yang dipilih Kakek sebagai nama dalam surat kewarganegaraannya. *** 
Tahun 1939, usia Kakek baru duapuluh tahun. Namun dalam perhitungan shio, usia Kakek sebenarnya sudah duapuluh satu tahun. 
Orang-orang Tionghoa memiliki kebiasaan dalam menghitung usia seseorang dengan cara menambah satu tahun dari usia sebenarnya (usia sang Janin dalam masa kandungan sang Ibu sudah terhitung satu tahun). Pada masa itu, seorang pria yang berusia duapuluh tahun sudah diwajibkan menikah. Apalagi Kakek adalah putra satu-satunya dalam keluarga. Generasi pelanjut marga keluarga Ciang ini benar-benar bergantung di pundak Kakek. Selain itu, Kakek dan Nenek Buyut telah menginjak usia lanjut dan berharap bisa cepat menimang cucu dari Kakek.
Nenek Buyut mulai mendesak Kakek untuk mulai memikirkan kehidupan berkeluarga. Beliau setengah menasehati dan setengah mengancam Kakek.
"Orang-orang zaman dulu pernah berkata: 'Di antara sekian banyak pelanggaran tak berbakti terhadap orangtua, yang paling buruk adalah tidak memiliki keturunan dari anak lelaki! Usiamu telah cukup untuk menikah, namun kau masih mengelak apabila diajak berbicara mengenai hal tersebut. Apakah kau bermaksud hendak mengakhiri garis keturunan keluarga ini? Oh, Anakku! Kalau kau sampai melakukan hal itu, bagaimana kelak aku dan Ayahmu bisa menghadap para leluhur kita di akhirat nanti?"
Nenek Buyut mulai memasang ekspresi wajah sedih. Melihat Ibunya berbicara dan bersedih seperti itu, hati Kakek sungguh tidak tega.
Dengan sungkan Kakek berkata, "Ibu, aku tidak pernah bermaksud seperti itu.... Hanya saja, aku pikir ada baiknya kalau aku menunggu dua atau tiga tahun lagi baru menikah...."
"Apa?! Dua atau tiga tahun lagi, katamu?!" erang Nenek Buyut. "Tak tahukah kau kalau Ayah-Ibumu ini sudah tua? Kami khawatir, kami keburu 'kembali ke Hong Shan' sebelum sempat menimang cucu pertama kami darimu!"
Nenek Buyut mulai menangis. Kakek terhenyak dengan perkataan terakhir Ibunya. Hong Shan berarti 'Gunung Hong'. 'Kembali ke Hong Shan' merupakan idiom bagi orang-orang Tionghoa Guandong Khaiphing untuk ungkapan 'berpulang ke rahmatullah'.
Akhirnya Kakek menghela napas dan dengan enggan berkata kepada Nenek Buyut. 
"Baiklah, aku akan menerima usul Ibu. Akan tetapi ada syaratnya...." Kakek berhenti sejenak sambil ragu-ragu mengamati wajah Ibunya.
"Syarat apa?" Nenek Buyut segera mengangkat wajahnya sambil menyeka airmatanya. Beliau memandang Kakek dengan rasa ingin tahu.
Kakek mengumpulkan segenap keberaniannya dan menjawab Ibunya, "Hm, syaratnya adalah... aku sendiri yang menentukan siapa calon istriku."
Mata Nenek Buyut membelalak. "Apa?" serunya. "Dari zaman dulu sudah jadi tradisi kalau perjodohan anak-anak diatur oleh para orangtua. Anak-anak tidak diperkenankan menarik benang merah perjodohan mereka sendiri!"
Kakek mulai gusar karena ditekan oleh Ibunya. "Pokoknya aku tidak mau siapa pun, termasuk Ibu, yang memilihkan gadis untukku!" cetusnya. "Aku menolak dijodohkan! Kalau Ibu tidak setuju dengan syarat ini, selamanya aku tidak mau menikah!"
Nenek Buyut terdiam dan mengawasi Kakek dengan seksama. Sejurus kemudian, kebisuan Kakek telah memberitahukannya sesuatu. 
"Apakah kau sudah punya pilihan? Apakah kau sudah menentukan anak gadis dari keluarga mana...?" tanya Nenek Buyut penuh selidik.
Wajah Kakek mendadak merona merah. Dia tetap diam dan tidak langsung menjawab. 
"Lekas jawab pertanyaan Ibu!" desak Nenenk Buyut. "Apakah selama ini kau telah diam-diam memperhatikan seseorang...?" 
"Ya!" Kakek menjawab dengan perlahan namun tegas.
Nenek Buyut menghembuskan napas berat.
"Pantas saja kau begitu gigih mengajukan tawar-menawar. Begitu rupanya, ya? Hmm...." *** 
Nama gadis yang ditaksir oleh Kakek adalah Sithu Cungho, atau Situ Zhonghao dalam dialek Mandarin hanyu pinyin-nya. 
Ayah Cungho berprofesi sebagai seorang penjahit yang cukup terkenal di pecinan. Semasa mudanya, Tuan Besar Sithu pernah belajar menjahit di sebuah kursus milik orang Inggris di Hongkong. Sekarang, setelah pindah di Nan Yang, beliau membuka usaha menjahit sendiri dan setelah bertahun-tahun usaha tersebut berkembang maju. 
Karena usahanya yang semakin besar itu, Tauke Sithu mampu menggaji banyak pegawai, baik yang membantunya di toko maupun yang membantu urusan rumah tangganya. Pelanggan-pelanggannya kebanyakan adalah meneer-meneer Belanda yang menyukai potongan busana pria khas Eropa masa itu. Selain kesibukannya dalam mengelola usaha, Tauke Sithu juga dipercayakan sebagai tetua marga Sithu untuk wilayah Mangkase (sebutan dalam bahasa Guandong untuk Makassar) dan sekitarnya. 
Cungho adalah anak ketiga dari lima bersaudara, sehingga nama Cungho itu cocok sekali buatnya. (Cung atau Zhong berarti tengah). Cungho memiliki dua orang kakak lelaki dan dua orang adik, masing-masing seorang lelaki dan perempuan. 
Selama ini, Kakek rupanya sudah sering melihat Cungho tetapi belum pernah bertegur sapa dengan gadis itu. Kakek selalu melewati rumah sekaligus toko milik Ayah Cungho setiap kali berangkat dan pulang kerja. Kebetulan rumah tersebut terletak pada satu alamat yang sama dengan kantor Kakek yang membelakangi pelabuhan. Pada sore hari sepulang dari kantor itulah, Kakek biasa melihat gadis pujaannya itu: duduk-duduk di depan teras toko Ayahnya bersama keluarganya, yang lain biasanya berdiri di atas langkan—teras loteng, sedang membaca buku. Kakek tertarik dengan wajah cantik dan tinggi semampai gadis itu. Karena sering mendapatinya membaca di atas langkan itulah, Kakek menyimpulkan kalau gadis itu pasti seorang wanita terpelajar. Pada masa itu, gadis-gadis Tionghoa masih jarang sekali ditemukan ada yang gemar membaca buku. 
Walau telah mengetahui pilihan Kakek, Nenek Buyut tetap tidak boleh melamar langsung ke keluarga Sithu. Beliau tetap harus memakai jasa mei ren pho—mak comblang. Pada masa itu, tidak menggunakan jasa mei ren pho dalam sebuah perjodohan atau pernikahan, pasti akan ditertawakan. Maka, diutuslah seorang mei ren pho untuk berbicara kepada Tauke Sithu. 
Sepulangnya dari rumah keluarga Sithu, mei ren pho itu melapor pada Nenek Buyut. 
"Haiya... Putramu itu benar-benar berselera tinggi! Gadis pilihannya benar-benar bukan gadis sembarangan!"
"Memangnya apa yang istimewa dengan gadis itu?" tanya Nenek Buyut keheranan.
Mei ren pho menjawab, "Haiya! Ayahnya itu sangat kaya! Di rumahnya ada lusianan pegawai dan pembantu rumah tangga. Bahkan gadis itu diberi dua orang pembantu yang khusus untuk mencuci bajunya dan menyisirkan rambutnya!"
"Hah? Dia bahkan punya pembantu buat menyisirkan rambutnya?" Nenek Buyut terpana. "Mendengar dari ceritamu, sepertinya gadis itu sudah pasti tidak bisa mengerjakan pekerjaan rumah tangga...."
"Tentu saja! Buat apa punya pembantu begitu banyak kalau Nona Besar juga harus turun tangan bekerja?" Mei ren pho membenarkan. "Tauke Sithu sangat memanjakan putrinya! Beliau tidak mungkin membiarkan tangan putrinya yang halus berubah hanya untuk mengerjakan tugas-tugas rumah tangga yang kasar. Tangan yang halus itu hanya dipakai untuk menulis tuilien (puisi tulisan kaligrafi yang berupa syair berpasangan), melukis dan menyulam."
"Kau tentu tak menyangka pula kalau gadis itu berpendidikan tinggi. Bayangkan saja, Bibi Weng, dia lulus di Kau Cong Ti Yi Shiau— SMA Teladan Tionghoa. Zaman begini, anak perempuan yang sekolah sampai setinggi itu masih bisa dihitung dengan jari. Benar-benar Putramu memilih calon istri yang sepadan pintarnya!"
Nenek Buyut terbengong-bengong mendengar penjelasan mei ren pho tersebut. 
"Berapa usia gadis itu? Apakah kau berhasil mengecek tanggal kelahirannya?" tanya Nenek Buyut. 
"Tentu saja! Bukankah itu sudah menjadi bagian dari tugasku?" Mei ren pho tersenyum penuh arti. "Gadis itu lahir pada tanggal satu bulan kesepuluh Imlek, tahun ren shu—anjing air. Usianya tahun ini sudah delapanbelas tahun." 
Nenek Buyut mengitung-hitung. "Putraku lahir pada tanggal empatbelas bulan tiga Imlek pada tahun Ci Wei—kambing tanah. Itu artinya gadis itu lebih muda tiga tahun. Oh, tidak! Bukankah kata orang-orang kalau pasangan yang berbeda usia tiga tahun itu pernikahannya kurang harmonis karena sering bertentangan?"
"Ya, katanya sih begitu," ujar mei ren pho. "Tetapi kalau sudah menginjak usia tua, keduanya akan akur dan sejahtera...."
"Aih, rasa-rasanya gadis ini tak bakalan cocok dengan Putraku!" Nenek Buyut mengeluh. "Kenapa pula Putraku itu memilih Nona Besar macam begini sebagai istrinya...."
"Eh, Bibi Weng, aku belum memberitahumu," Mei ren pho tiba-tiba berujar, "Ayah gadis itu belum menyetujui perjodohan ini. Katanya, beliau harus meminta pendapat Putrinya terlebih dahulu. Paling tidak, Putramu harus memberikan selembar foto dirinya untuk diperlihatkan kepada gadis itu dan keluarganya."
"Apa? Dia mau melihat foto Putraku lebih dulu?" seru Nenek Buyut.
Mei ren pho mengangguk.
"Ya, itu merupakan salah satu syarat dari mereka. Tauke Sithu tentunya tidak mau buru-buru menyetujui terlebih jika Putrinya tidak berkenan." 
Nenek Buyut mendengus. "Huh! Ketika aku menikahkan Putri Sulungku di China dulu, mana ada acara cek-cek foto segala? Dia langsung kunikahkan tanpa banyak cingcong!" 
Mei ren pho tertawa, dibalasnya perkataan Nenek Buyut dengan sahutan, "Bibi Weng, sekarang sudah tidak sama seperti dulu lagi. Zaman sudah berubah...." *** 
Selama menunggu jawaban dari keluarga Sithu, Nenek Buyut menasihati Kakek. 
"Anakku, sebaiknya kau jangan terlalu berharap jawaban yang memuaskan dari Nona Besar Sithu ini. Dia berasal dari keluarga berada sementara kamu berasal dari keluarga sederhana. Mana mungkin kalian bisa menjadi pasangan yang cocok?" 
"Ibu, cocok-tidaknya pasangan suami-istri tidak dilihat dari persamaan latar belakang materi keluarga. Aku yakin walau Nona Sithu berasal dari keluarga berada, dia tetap bisa menjadi istri yang baik dan menghormati keluarga kita." 
Nenek Buyut mencibir. Dalam hati beliau meragukan perkataan putranya itu. 
Tetapi rupanya dewi fortuna berpihak kepada Kakek. Nona Sithu Cungho menyetujui perjodohan ini. Dia dan keluarganya telah melihat foto Kakek. Sebagai tambahan, diam-diam Cungho semakin mengagumi calon suaminya yang terpelajar. Sejak lama Cungho memang mendambakan seorang pria yang tidak hanya berpenampilan menarik, tetapi juga berwawasan luas sebagai pendamping hidupnya. 
Setelah mendapat persetujuan dari keluarga Sithu, keluarga Kakek pun bersiap. Waktu pernikahan segera dipilih. Sambil menunggu datangnya hari pernikahannya, Kakek tetap beraktivitas seperti biasa. Setiap hari berangkat dan pulang kantor melewati rumah calon istrinya. Tetapi semenjak pertunangannnya, ada yang berubah dengan si Nona Sithu. Jika sebelumnya dia tidak peduli dengan kehadiran Kakek melewati rumahnya, kini setiap sore Cungho mengawasi tunangannya lewat lalu melempar senyum manis kepadanya. 
Pada masa itu, orang-orang belum mengenal istilah pacaran atau kencan. Meski telah berstatus sebagai tunangan, Kakek masih belum diperbolehkan mengunjungi rumah calon istrinya apalagi mengajaknya bicara. Setiap sore sepulang kerja, Kakek hanya bisa puas mendapat senyum manis dari tunangannya tersebut. 
Pada pertengahan bulan September tahun 1939, Kakek menikah dengan Sithu Cungho. Pada jam baik yang telah dipilih, Cungho dijemput oleh bendi lalu dibawa ke rumah calon suaminya. Tubuhnya yang tinggi semampai dibalut gaun cheongsam merah yang panjangnya sampai menutupi mata kaki. Gaun itu dipenuhi sulaman bunga-bunga dan sepasang yuan yang—Bebek Mandarin, lambang pernikahan. Rambut Nenek yang sebahu ditata berombak dengan rol-rol serta pemanas rambut (kala itu belum ada salon serta peralatan kosmetik mutakhir, rambut dikeriting dengan cara dipanaskan pada alat yang sudah dibakar pada arang). Pada sisi kanan kepalanya, sekuntum besar bunga merah dengan daun-daun cemara diselipkan ke rambutnya. 
Demikianlah dandanan Cungho pada hari pernikahannya. Sebagai pelengkap, selembar kerudung merah menutupi wajahnya sewaktu hendak keluar rumah. Nyonya Besar Sithu memayunginya sampai menaiki bendi. Kemudian, payung tersebut diberikan kepada mei ren pho untuk memayungi si Pengantin Wanita ketika sampai di rumah suaminya. 
Cungho berangkat ke rumah calon suaminya dengan hanya ditemani oleh mei ren pho. Sesampainya di sana, upacara adat segera digelar. Di hadapan para kerabat dan undangan, sepasang mempelai itu saling memberi hormat kepada Langit (simbolitas Tuhan) dan Bumi (kemakmuran fana), orangtua dan para leluhur. Ketika Kakek membuka kerudung mempelai wanita, seluruh tamu yang hadir menahan napas dan setelah cadar itu perlahan-lahan turun, semuanya menghembuskan napas lega melihat wajah cantik si Mempelai Wanita. Salah seorang tamu, teman Kakek yang berkebangsaan Inggris kebetulan membawa kamera. Sewaktu memotret sepasang pengantin baru itu, dia tak henti-hentinya memuji, "Beautiful... beautiful...."
Resepsi pernikahan berlangsung hingga larut malam. Hampir seluruh undangan yang hadir hendak memberi selamat kepada pengantin baru. Mereka terutama mengajak Kakek bersulang, mendesak Kakek agar menandaskan isi gelasnya yang berisi arak berkali-kali. Malam itu, Kakek minum sampai wajahnya berubah menjadi merah. 
Setelah pesta usai dan tamu-tamu pulang, para penghuni rumah juga pergi beristirahat. Sepasang pengantin baru dibiarkan melewatkan malam pertama di kamar pengantin yang berhias huruf-huruf shuangshi—kebahagiaan abadi. Malam itu, Kakek dan Cungho tertidur pulas sampai kira-kira pukul empat subuh, Cungho terbangun ketika mendengar pintu kamarnya diketuk. 
Sambil terkantuk-kantuk, Cungho bangun sambil merapikan sedikit baju tidurnya. Suaminya masih meringkuk pulas dan Cungho tak berniat untuk membangunkannya. 
Suara ketukan masih terus berlanjut. Dan ketika Cungho membuka pintu, alangkah terkejutnya dia melihat sosok yang kini tengah berdiri di hadapannya.
"I-ibu...?" Cungho berkata gugup. 
Nenek Buyut tersenyum penuh arti kepada menantu barunya itu. 
"Menantuku yang baik," ujar Nenek Buyut dengan penuh kelembutan. "Cukup sudah jadi raja dan ratu seharinya... sekarang sudah waktunya bangun...."
Mata Cungho membelalak menatap wajah Ibu Mertuanya seakan tak percaya. 
"Tetapi, bukankah hari masih gelap, Ibu?" tanyanya seraya melihat ke arah jam antik yang terpasang di dinding kamar. 
"Sekarang sudah jam empat subuh, Menantuku. Peraturan pertama di rumah ini adalah, kaum perempuan harus bangun sebelum matahari terbit."
Cungho tak dapat menyembunyikan keterkejutannya dengan menutup mulutnya dan membelalakkan matanya yang setengah mengantuk tadi .'Di rumahku dulu aku biasa baru bangun pukul tujuh pagi....' bisiknya dalam hati. 
"Tunggu apa lagi, Menantuku?" tanya Nenek Buyut seraya mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan Cungho. "Ayo lekas cuci mukamu dan ikut aku! Di belakang ada setumpuk pakaian kotor yang harus segera dicuci! Bergegaslah! Aku tak suka dengan wanita yang berlambat-lambat!"
Cungho tak berani membantah ataupun mengeluarkan nada protes. Dengan patuh dia menuruti perintah Ibu Mertuanya. 
Demikianlah, Cungho, yang di kemudian hari kukenal sebagai Nenekku dari pihak Ayah, memulai hari pertamanya di keluarga barunya. Dimana, suara ketukanlah yang membangunkannya dan setumpuk cucian telah menunggu.... *** 
Beberapa minggu setelah pernikahannya, barulah Cungho pelan-pelan memahami situasi keluarga barunya. 
Ayah Mertuanya seorang penyabar, pendiam serta tak banyak bicara. 
Yang agak sulit dihadapi Cungho justru adalah Ibu Mertuanya. Nenek Buyut termasuk tipe mertua kolot Tionghoa yang memegang prinsip bahwa seorang mertua berhak atas diri menantu perempuannya. Dia berhak memperlakukan menantu perempuannya itu dengan semena-mena, tanpa boleh dibantah. Orang kedua yang menurut Nenek cukup sulit dihadapi setelah ibu mertuanya adalah adik perempuan terkecil Kakek yang bernama Liming. Nenek memperhatikan kalau gadis cilik yang baru berusia tujuh tahun itu amat dimanja oleh Ayah-Ibunya. Kemungkinan karena Liming merupakan anak bungsu yang lahir menjelang masa tua orangtuanya. Namun terlalu memanjakan anak pengaruhnya juga kurang baik. Nenek melihat Liming tumbuh sebagai anak yang cengeng dan emosian, terlebih jika keinginannya sedang tidak dituruti. 
Beberapa hari setelah pernikahan Putranya, Nenek Buyut mulai tidak menyukai menantu barunya ini. Seperti yang telah diduga sebelumnya, putri penjahit kaya itu sama sekali belum pernah melakukan pekerjaan rumah tangga. Hal yang paling sederhana pun seperti menjerang air dan membuat kopi tak bisa dilakukannya. Nenek Buyut pun mulai mengomeli Putranya.
"Lihat! Inilah gadis pilihanmu itu! Katanya lulusan dari Kau Cong Ti Yi Shiau! Tetapi tak satu pun dari ilmu yang diperolehnya di sekolah itu bermanfaat setelah dia menikah!"
Kakek diam mendengarkan. Sampai Ibunya selesai berbicara, barulah dia menyambung.
"Ibu kenapa berkata seperti itu? Cungho itu pintar dan terpelajar. Dia pernah belajar analek Konfucius dan fasih berbicara serta menulis Mandarin. Bukankah dulu Ibu sering memarahiku karena sering berbahasa Belanda dan Inggris, aku jadinya tak seperti pria Tionghoa lagi? Sekarang, aku telah memilih seorang istri yang amat mengerti dengan adat-budaya Tionghoa kita, pandai menulis kaligrafi, melukis serta menggubah puisi. Masih kurang apalagi? Kenapa Ibu terus-terusan mengkritiknya?" 
"Yang kurang dari istrimu adalah, dia tak bisa mengerjakan tugas-tugas rumah tangga seperti wanita pada umumnya!" cetus Nenek Buyut. "Tidak ada gunanya kalau sepasang tangannya diciptakan hanya untuk memegang kuas buat menulis dan melukis! Tidak bisa masak, mencuci, membersihkan rumah... Ibu benar-benar tak cocok dengan menantu seperti itu!"
Kakek mulai gusar dan membalas perkataan ibunya, "Semasa gadisnya, Istriku memang tidak pernah bekerja. Tetapi bukan berarti dia tak mau belajar. Ibu kan bisa mengajarinya pelan-pelan, lama-lama dia juga pasti bisa memasak mencuci dan lain sebagainya...."
"Mengajarinya?" Nenek Buyut menyindir. "Huh! Benar-benar...! Seperti kembali mengajar anak balita, padahal usia Istrimu itu sudah hampir duapuluh tahun!"
Demikianlah, setiap hari Nenek menghadapi segala hal yang belum pernah dialaminya semasa gadis dulu. Hampir setiap waktu Ibu Mertuanya itu mengomelinya. Kadang-kadang omelan itu berubah menjadi ceramah panjang yang diberikan oleh seorang dosen kepada mahasiswanya pada sebuah mata kuliah yang membosankan. Nenek berusaha melalui semua itu dengan sabar dan tegar. Beruntunglah dia senantiasa mendapat dukungan serta cinta kasih yang besar dari suaminya. 
Selain Kakek, masih ada tambahan satu orang penolong lagi bagi Nenek. Penolong itu adalah Leiho, adik perempuan Kakek yang diadopsi dua tahun sebelum Kakek dan Nenek menikah. Dia senantiasa membantu Nenek dalam kesulitan, khususnya jika Nenek habis dimarahi karena tidak mengerjakan tugasnya dengan benar. *** 
Sementara itu di rumah kediaman orangtua Nenek, Nyonya Besar Sithu berhari-hari merindukan Putrinya 
Semenjak menikah, Nenek baru pulang ke rumah orangtuanya sekali, yakni pada hari ketiga setelah pernikahannya. Ritual ini disebut 'berkunjung ke rumah orangtua tiga hari setelah malam pengantin'. Jika pengantin wanita tidak pulang pada hari tersebut, menurut adat, untuk seterusnya dia tidak akan diperkenankan masuk ke rumah orangtuanya lagi. 
Semakin hari, rasa rindu Nyonya Besar semakin besar. Apalagi akhir-akhir ini beliau jarang melihat menantuya lewat depan rumah sewaktu berangkat dan pulang kantor sehingga tak bisa menanyakan keadaan Putrinya. Nyonya Besar Sithu pun memutuskan untuk mengunjungi Putrinya itu. Pada suatu hari libur, dengan ditemani Putri Bungsunya, Nyonya Besar Sithu berangkat ke rumah Nenek. Setibanya di sana, Nyonya Besar amat terkejut melihat kondisi Nenek. 
Baru tiga bulan setelah pernikahannya, bobot tubuh Nenek telah menyusut secara drastis. Penampilannya yang dulu selalu modis dan rapi, kini acak-acakan dan lusuh. Sepasang tangannya yang dulu putih dan halus kini berubah menjadi kasar, pecah-pecah dan merah karena kutu air.
"Apa yang kau lakukan di sini sampai kondisimu seperti inii?" tanya Nyonya Besar Sithu.
Nenek yang sudah lama tak bertemu dengan Ibunya rasanya ingin sekali menangis dan berkeluh-kesah di pelukan wanita itu. Tetapi dikuatkannya hatinya. Dengan tegar Nenek berkata, "Ya, maklum. Di sini tidak ada pembantu. Jadi, segala sesuatunya masih harus dilakukan sendiri...."
Nyonya Besar Sithu segera berkata, "Kalau kau memang begitu sibuk, biar kukirim dua atau tiga orang pembantu kemari buat membantumu." 
Nenek terkejut. Ditatapnya wajah Nyonya Besar Sithu sambil memegang erat tangannya.
"Ibu jangan sekali-kali melakukan hal itu!" sahut Nenek panik. "Tindakan Ibu itu melangkahi wewenang Ibu Mertuaku. Nanti beliau tersinggung karena dianggap tidak mampu menyediakan pembantu."
"Ibu mengerti. Tetapi, lihatlah kondisimu. Mana mungkin kau bisa mengurus semua hal di rumah besar ini sendirian?"
"Ibu... ada pepatah lama Tionghoa lama yang mengatakan: 'menikah dengan anjing ikut anjing, menikah dengan orang miskin ikut orang miskin'. Sudah menjadi nasibku dipersunting oleh pria dari keluarga sederhana. Semua ini harus kujalani. Ibu jangan sekali-kali ikut campur.  
Nyonya Besar Sithu menghela napas. Dengan prihatin ditatapnya wajah Putrinya itu dalam-dalam.
"Baiklah kalau begitu...." Tatapan Nyonya Besar turun ke sepasang tangan Nenek. "Tetapi luka-luka di tanganmu ini harus diobati. Besok akan kusuruh seseorang untuk mengantarkan salep kulit buat dioleskan ke luka-luka ini." *** 
Beberapa bulan setelah pernikahan Putranya, Nenek Buyut punya kebiasaan baru. 
Setiap sore, beliau akan duduk di depan pintu rumah. Sambil memegang kipas dari anyaman daun bambu buat mengipas-ngipas, Nenek Buyut mulai berceloteh.
"Aku punya cerita... ada yang mau dengar tidak? Ini cerita tentang menantuku yang katanya wanita pintar dan terpelajar lulusan Kau Cong Ti Yi Shiau itu...."
Biasanya jika Nenek Buyut mulai berkata-kata seperti itu, para tetangga di kiri-kanan rumah mulai berdatangan dan berkumpul di depan rumah. 
"Hari ini kau punya cerita apalagi tentang Menantumu itu, Bibi Weng?" Seseorang akan menyelutuk di antara kerumunan itu. 
"Aih, hari ini dia melakukan kesalahan lagi. Tadi siang sewaktu memasak ikan, dia lupa membersihkan perut ikan tersebut dengan teliti sehingga ketika dimasak, empedunya pecah dan seluruh ikan terasa pahit. Ah, jadilah menu makan siang kami yang semula kukira pasti sangat lezat berubah menjadi pahit dan mengenaskan!"
Kerumunan orang itu tertawa. Nenek Weng melanjutkan ceritanya seperti pendongeng zaman baheula yang mampu menyihir telinga para pendengarnya.
"Saudara-saudaraku semua, biar kuberitahu satu hal. Lain kali jika hendak mencari menantu perempuan, pastikan dia bisa memasak dan mengurus rumah tangga. Jangan seperti Menantuku ini. Melihat air mendidih, dia tak tahu. Menanak nasi, banyak gosongnya. Belum lagi dia tak tahu bagaimana cara mencuci pakaian dan memegang sapu. Ah, rasanya masa tuaku bakal berlalu nestapa dengan menantu perempuan seperti itu tinggal bersamaku...."
"Tetapi Bibi Weng, bukankah Menantumu itu sangat pintar menulis kaligrafi, melukis dan menyulam?" tanya seseorang di antara kerumunan itu.
Nenek Weng yang tidak suka mendengar kelebihan-kelebihan Menantunya itu, membentak orang tersebut, "Kalau pintar semua itu, terus kenapa? Apa semua itu bisa membuat perut kenyang dan rumah menjadi bersih?"
Kerumunan orang itu kembali tertawa. 
Demikianlah kegiatan rutin Nenek Buyut setiap sore. Duduk-duduk di depan rumahnya sambil bercerita tentang kelakuan Menantunya seperti mengisahkan sebuah hikayat kuno. 
Lama-kelamaan, para tetangga yang biasa mendengar 'kisah di sore hari itu' mulai merasa bosan. Mereka menganggap Nenek Buyut melebih-lebihkan ceritanya dan selalu menyudutkan si Menantu Perempuan sebagai tokoh antagonis. Terlebih, mereka melihat sendiri si Menantu Perempuan, orangnya ramah dan patuh, tidak sekalipun dia mengeluh atau marah meski Ibu Mrtuanya sudah sering menjelek-jelekkannya di hadapan para tetangga. Perlahan-lahan para 'pendengar setia' Nenek Buyut itu menaruh simpati kepada si Menantu Perempuan. Pada suatu sore ketika Nenek Buyut mulai bercerita tentang keburukan menantunya seperti biasa, salah seorang di antara 'pendengar setia' itu membantahnya. 
"Bibi Weng, kau setiap hari bercerita tentang kejelekan Menantu Perempuanmu, apakah kau tidak merasa bosan?"
"Bosan?" Nenek Weng tertawa. "Tentu saja tidak! Hampir setiap hari aku menemukan kesalahan baru dalam dirinya yang menurutku pasti akan sangat menggelikan bila diceritakan...."
"Menurutku, yang menggelikan itu justru Anda sendiri Bibi Weng!" celetuk yang lain. 
"Hah? Kenapa bisa justru aku yang kau anggap lucu?"
"Ya, aku menganggap Anda menggelikan karena setiap sore bercerita tentang keburukan Menantu Perempuanmu itu. Tidakkah hal ini akan membuatnya benar-benar membencimu nanti jadinya? Apakah Anda senang bermusuhan dengan menantu sendiri, Bibi Weng?"
"Aku sependapat dengan kata-kata tadi." Seseorang yang lain membenarkan. "Selama ini aku belum melihat Menantumu itu bertingkah kurang ajar dan tak terpuji. Dia amat sabar serta patuh padamu. Kurang apalagi? Kamulah yang selama ini sengaja mencari-cari kesalahannya!"
Nenek Buyut tak senang. Beliau protes. 
"Hei, hei, hei... apa-apaan ini? Kenapa sekarang kalian yang seakan-akan berbalik hendak menyalahkanku?"
Salah seorang di antara 'pendengar setia' itu bangkit berdiri dan berkata lantang kepada Nenek Buyut, "Karena kami semua kasihan dengan Menantumu itu! Selain itu, kami juga sudah muak dengan segala kisah tentang dirinya!"
"Aneh sekali kalian hari ini, merasa iba padanya dan tidak berada di pihakku. Tahukanh kalian? Dia itu tak pantas dikasihani!" 
"Bibi Weng, kau harus sadar! Lama-lama, Menantumu bisa jatuh sakit kalau kau terus-menerus menekannya dengan seperti ini!"
"Kalau dia jatuh sakit, lantas kenapa? Dia kan menantuku, jadi... suka-suka aku mau bagaimana terhadapnya!" 
Orang yang mendebat Nenek Buyut itu merasa gusar bukan main, dan akhirnya mengeluarkan kata-kata penghabisan. "Dasar kau memang Bibi Tua yang galak dan keras kepala!"
"Apa katamu?" Nenek Buyut naik pitam.
Para 'pendengar setia' di kerumunan itu pelan-pelan membubarkan diri sambil mengomeli Nenek Buyut. Dengan perasaan kesal, Nenek Buyut masuk ke dalam rumah. Kebetulan dari ruang dalam, Nenek Chungho barusan muncul dan berpapasan dengannya. 
Nenek Buyut melihat Menantunya itu dengan sorot mata kesal sambil bertanya, "Kamu habis beri jampi-jampi apa para tetangga itu?"
Alis Nenek berkerut. Dia sama sekali tidak tahu kalau pertemuan sore hari itu berakhir ricuh. Maka dengan heran Nenek berkata, "Maksud Ibu apa? Aku tidak mengerti."
"Kamu habis beri jampi-jampi apa pada para tetangga itu? Kenapa hari ini mereka semua membelamu dan mengataiku 'Bibi Tua Galak-Keras Kepala'?"
Nenek masih belum memahami perkataan mertuanya itu. Nenek Buyut mendengus keras, maninggalkan menantunya yang masih terbengong-bengong. *** 
Puluhan tahun kemudian, Nenek masih bisa hidup bersama Ibu Mertuanya itu dalam satu rumah. 
Hubungan antara manusia bisa dibilang cukup unik. Ketika muda, hubungan antara Nenek dengan Ibu Mertuanya tidak terlalu baik, namun setelah masa tuanya, justru Ibu Mertuanya ini menjadi salah satu teman terbaiknya. Kalau dulu Nenek Buyut sering mencari-cari kesalahan Nenek, kini beliau dengan sukacita akan membela Nenek walau tanpa diminta sekalipun. 
Kadang-kadang sahabat terbaik yang paling mengerti kita justru adalah orang yang selama ini kita anggap sebagai musuh. 
Ketika tiba masanya putra-putra Nenek menikah dan Nenek sudah mulai menjadi seorang ibu mertua, dia sama sekali tidak pernah menerapkan cara-cara yang dulu diterapkan Nenek Buyut kepadanya.
Kadang-kadang Nenek Buyut menasihatinya, "Kau terlalu lembek dengan menantu-menantumu. Seharusnya kau memakai cara-cara seperti aku dulu. Itu bisa jadi semacam 'langkah pencegahan' sebelum mereka bertindak semau-maunya terhadapmu. Lagipula sekaranglah saatnya kamu membalas semua yang dulu kulakukan kepadamu terhadap mereka!"
'Oh, jadi semacam ajang balas dendam, begitu?' pikir Nenek. Tetapi Nenek menolak dan tidak pernah melakukan hal itu. Menurutnya tidakan pembalasan semacam itu harus dihentikan. Jika tidak, nantinya akan menjadi lingkaran setan! 
Nenek Buyut dianugerahi kesehatan yang baik dan umur panjang. Pada awal bulan September 1978, kesehatannya tiba-tiba memburuk dan beliau terbaring koma selama beberapa hari. 
Ketika kesadaran beliau sedang baik, beliau sempat memanggil menantu-menantu Nenek untuk berkumpul. Kepada cucu-cucu menantunya itu, Nenek Buyut berpesan:
"Kalian harus menghormati Ibu Mertua kalian itu. Dia sangat baik, tidak memperlakukan kalian seperti aku memperlakukannya dulu..."
Nenek Buyut meninggal pada suatu sore di penghujung bulan September tahun itu. Beliau menutup mata dengan tenang menyusul kepergian suami dan putra satu-satunya yang telah pergi mendahuluinya beberapa tahun sebelumnya.
Sepengetahuanku, sampai hari dimana aku menyelesaikan tulisan ini, beliau baru satu-satunya orang dari keluarga Ayahku yang dianugerahi umur panjang. 
Usia wanita yang dulunya sering dipanggil Bibi Weng itu ketika meninggal adalah sembilan puluh satu tahun! *** 
Dua tahun kemudian, pada bulan Mei 1980, salah satu putra Nenek Cungho, yakni Ayahku, menikah. 
Ketika Ibu mulai menjadi anggota keluarga Ayah yang baru, cerita tentang Nenek Buyut dan menantu perempuannya itu kembali dikisahkan untuknya.... ©

0 komentar:

 

♥Bu Eva Journal♥ Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | web hosting