Sabtu, 30 April 2011

Mempelai Arwah By. Merlin Herlina

Diposting oleh eva yuanita di 4/30/2011 08:08:00 PM
Kemanakah kehidupan setelah kematian? 
Apakah hanya terbatas antara dua pilihan, surga atau neraka? 
Atau, adakah alam lain setelah kematian selain dunia tempat kita huni ini? 
Masing-masing dari kita pasti memiliki jawaban yang berbeda-beda. Sebagian besar jawaban kita itu dipengaruhi oleh keyakinan kita dan masing-masing pasti akan bersikukuh kalau pendapat kitalah yang paling benar. 
Stop! Jangan berdebat di sini! Aku tidak bermaksud menjadikan forum ini sebagai ajang perdebatan. Aku hanyalah seorang pencerita, yang ingin mengisahkan kepada Anda semua tentang kisah-kisah yang unik dan menarik. Maka, jika Anda sedang punya waktu luang, silakan simak sebuah cerita berikut ini. *** 
Bagi orang-orang keturunan Tionghoa seperti keluargaku yang masih menganut kepercayaan dari leluhur kami, orang-orang yang sudah meninggal akan ber-tumimbal (rebirth, lahir kembali) di alam akhirat di mana konon kondisi di sana kurang lebih sama dengan dunia yang kita huni ini. 
Maka, jangan heran jika pada upacara kematian orang Tionghoa, Anda akan melihat uang-uangan dari kertas dibakar, karena konon di akhirat uang-uangan itu akan berubah menjadi uang sungguhan. Jangan pula heran kalau bergepok-gepok ching-ce dan ing-ce (kertas berwarna emas dan perak, melambangkan emas dan perak) dibakar atau dihamburkan di seputar makam, karena katanya semua itu akan berubah menjadi batangan-batangan emas dan perak betulan di akhirat nanti. 
Lebih heboh dari semua itu—jangan pula terkejut dengan adanya rumah-rumahan, gunung emas-perak dengan hiasan bangau putih di atasnya, serta peti-peti harta—semuanya terbuat dari kertas. Pada upacara Balito (sebuah acara yang berlangsung pada hari ketujuh atau kelipatannya setelah meninggalnya almarhum atau almarhumah), semuanya itu dibakar di depan makam tepat pada pukul duabelas malam. Semua yang dibakar pada malam Balito itu konon akan menjadi rumah sungguhan di alam sana, gunung emas dan perak betulan, serta peti-peti harta itu adalah hadiah untuk dibagikan kepada sanak keluarga yang telah lebih dahulu pergi ke sana—semacam oleh-oleh dari penghuni baru. 
Apakah semua itu betul? 
Entahlah! Tak ada yang tahu pasti. Sebab tidak seorang pun setelah pergi ke sana masih bisa kembali dan memberitahukan kalau uang-uangan, kertas-kertas emas dan perak, rumah-rumahan serta peti-peti harta itu akan berwujud sungguhan di alam sana. Yang ada, tradisi ini terus saja berlanjut, walau kini mungkin sudah banyak berkurang karena termakan modernitas. Namun intinya, nadi dari tradisi ini masih berdenyut. Pelan dan lamban, tetapi tetap ada. 
Masih ingat dengan Cuan Ndui? Putri satu-satunya Nenekku dari pihak Ayah yang meninggal dua kali. Dalam kepercayaan suku Guandong Khaiphing kami, anak-anak yang meninggal seusia Cuan Ndui hanya dibakarkan uang-uangan serta batangan-batangan emas-perak secukupnya. Dia tidak dibakarkan rumah-rumahan, gunung emas-perak serta peti-peti harta — karena dianggap masih terlalu kecil. Ketika meninggal, arwahnya dijemput oleh salah satu leluhur kami dan selanjutnya, dia akan tinggal serta tumbuh bersama mereka.
Hah? Arwah anak-anak yang telah meninggal juga bisa tumbuh dewasa selayaknya anak-anak di dunia ini? 
Yah, begitulah kepercayaan yang telah diwariskan oleh tradisi kami. Dan cerita berikut adalah cerita tentang Cuan Ndui setelah kematiannya yang diyakini oleh sebagian keluargaku. *** 
 Ihwal cerita ini dimulai pada suatu hari di bulan Agustus 1962. 
Waktu itu, hari sudah hampir menjelang siang. Nenek sedang sibuk di dapur. Tiba-tiba seorang pembantu wanita dari ruang depan tergopoh-gopoh menghampirinya. 
"Nyonya, ada orang yang mau bertemu dengan Anda!" ujar pembantu itu dengan dialek Bugis-Makassar kental. 
"Siapa?" tanya Nenek. 
Pembantu itu mengangkat bahu. 
"Perempuan, tapi saya tidak kenal, Nya." 
Nenek tertegun sebentar lalu berkata, "Kalau begitu, suruh tunggu sebentar." 
Pembantu wanita itu mengangguk lalu kembali ke ruang depan. Nenek lalu membersihkan tangannya yang belepotan kacang kedelai. Setelah mengeringkan tangannya dengan serbet, Nenek berjalan keluar menemui tamunya sambil bertanya-tanya dalam hati siapa gerangan tamu tersebut. 
Ketika mendekati ruang tamu, Nenek sudah bisa melihat sosok tamunya itu. Seorang wanita berbaju chipao dan bercelana panjang warna coklat tua. Dari belakang, rambut wanita itu terpotong pendek hingga pertengahan leher. 
Wanita itu sepertinya merasakan kedatangan Nenek sehingga dia berbalik. Kini, Nenek bisa melihat wajahnya dengan jelas. Seorang wanita berusia lima puluhan. Nenek mengenal wanita ini meski tidak akrab. Nenek biasa berpapasan dengannya di pasar apabila membeli bahan-bahan makanan sebagai sesajian di altar persembahyangan. Nenek juga biasa menemuinya di Toko Haplong jika sedang membeli barang-barang keperluan sembahyang. Dan yang paling sering adalah, Nenek melihatnya keluar-masuk klenteng di daerah pecinan untuk membantu orang-orang ber-ciam-si. 
Wanita itu bernama Sima Chi, seorang cenayang wanita Tionghoa. Nenek sudah sering mendengar kepiawaiannya dalam berkomunikasi dengan arwah-arwah orang yang telah meninggal. Baru-baru ini, dia berhasil memecahkan kasus pembagian harta warisan di sebuah keluarga Hokkian kaya, dengan cara memanggil arwah kepala keluarganya yang meninggal setahun sebelumnya. Nama Sima Chi hampir dikenal oleh seluruh orang Tionghoa di pecinan kala itu. Namun tidak semuanya pernah memakai jasanya. Seperti Nenekku, seumur-umur beliau belum pernah berurusan dengan Sima Chi. Kalau kebetulan berpapasan pun, hanya saling melempar senyum. Selebihnya, Nenek mengetahui tentang Sima Chi dari cerita orang-orang. 
Nenekku mempersilakan Sima Chi untuk duduk, menghidangkan secangkir teh dan berbasa-basi sebentar, sebelum melontarkan pertanyaan inti. 
"Ada urusan apa sampai Ambu–Bibi, kemari?" 
Sima Chi tersenyum sumringah menatap Nenek. "Nyonya kenal dengan Paman Ci?" tanyanya. "Dia tinggal beberapa blok dari sini, membuka usaha pertukangan kayu." 
Nenek berpikir sejenak. 
"Oo, Paman Ci yang punya usaha pertukangan kayu itu? Ya, ya, tentu saja kenal. Kebetulan adik ipar saya adalah sepupu jauhnya. Jadi, kami masih ada hubungan famili." 
"Nah, kalau begitu urusannya bisa lebih mudah," ujar Sima Chi sambil tersenyum. "Begini Nyonya, sebenarnya kedatangan saya kemari karena diminta Paman Ci untuk mengurus sesuatu...." 
Sima Chi berhenti sejenak sehingga membuat Nenek agak penasaran. 
"Urusan apa itu?" tanya Nenek, mendesak karena penasaran. 
Sima Chi menyeruput tehnya sedikit, lalu melanjutkan, "Nyonya, apakah dulu Anda punya seorang putri?" 
Nenek agak terkejut. " Dari mana Ambu Sima Chi tahu kalau saya dulu punya seorang putri?" 
Sima Chi kembali melanjutkan, "Tapi putri Anda meninggal pada usia dua setengah tahun. Jika dia masih hidup, tentu saja dia pasti sudah berusia dua puluh tahun, bukan begitu?" 
Nenek terperanjat, namun akhirnya mengangguk-ngangguk keheranan. 
"Dari mana Ambu tahu tentang semua itu?" 
Sima Chi kembali tersenyum seraya melanjutkan, "Ceritanya begini, Nyonya. Seminggu yang lalu Paman Ci bermimpi didatangi arwah putra keduanya. Putra keduanya itu berkata dalam mimpi tersebut bahwa dia hendak meminta pertolongan Ayahnya untuk melamar seorang gadis. Nah, keluarga gadis itu kebetulan tinggal dekat rumah Ayahnya. Lalu, dia memberitahu alamat rumah ini." 
"Sekarang, saya dipercayakan Paman Ci untuk menjadi mak comblang. Maka dari itu, saya ke sini untuk memberitahukan Nyonya kalau Paman Ci hendak melamar putri Anda sebagai istri putranya tersebut." 
Nenek terpekur mendengar penjelasan Sima Chi. Rasa heran masih bercampur di dalam kepala Nenek.
Melihat Nenek yang diam saja, Sima Chi pun bertanya, "Nyonya, bagaimana?" 
Nenek tersadar dari lamunannya. Akal sehatnya mulai berjalan kembali. 
"Maaf, Ambu. Saya tidak bisa memberi jawaban sekarang. Saya harus merundingkan hal ini dengan suami terlebih dahulu. Selayaknya seorang anak perempuan sungguhan, apabila menyangkut urusan pernikahan, tetap harus meminta persetujuan Ayahnya lebih dulu. Saya kira, Ambu mesti memberi kami waktu untuk berunding selama beberapa hari." 
Sima Chi mengangguk setuju. "Baiklah," katanya. "Saya akan pergi sekarang dan kembali lusa. Mudah-mudahan pada hari itu saya sudah mendapat kabar baik dari perjodohan ini." 
Sima Chi lalu mohon pamit. Nenek mengantarnya sampai di depan pagar. Keduanya lalu mengucapkan salam perpisahan. Nenek baru kembali masuk ke dalam rumah setelah melihat punggung Sima Chi lenyap dari pandangannya. *** 
Malam harinya, Nenek bercerita kepada Kakek tentang maksud kedatangan Sima Chi. 
Kakek menyimak dengan seksama. Setelah mendengar cerita Nenek, Kakek mendesah lalu berkata, "Kukira sebelumnya, perjodohan antararwah ini hanya akan sampai pada generasiku saja. Tak kusangka, kalau di antara anak-anak kita ternyata ada juga yang mengalaminya." 
Kakek berkata demikian karena semasa mudanya dulu, perjodohan antararwah seperti ini sudah biasa dilihatnya. Bahkan, keempat saudara laki-laki Kakek yang meninggal sewaktu balita semuanya telah memiliki istri dengan cara seperti itu. 
Kakek tersenyum kecut sambil melanjutkan, "Tapi aku sangsi Cungho, kalau tradisi seperti ini hanya akan berhenti sampai di sini. Suatu hari nanti, pada generasi cucu-cucu dan cicit-cicit kita, mereka tidak akan pernah melihat atau bahkan mendengar tradisi seperti ini lagi." 
Nenek tersenyum membalas Kakek. "Zaman senantiasa berubah, Suamiku. Di masa yang akan datang, keturunan kita pasti akan kehilangan beberapa tradisi yang kita lihat sekarang—tapi juga akan mendapatkan tradisi-tradisi baru yang tidak kita temui sekarang." 
Kakek mengerutkan bibir sejenak sebelum akhirnya berujar, "Yah, asal tradisi-tradisi baru itu nantinya tidak membuat mereka semakin edan saja...." 
Nenek tertawa mendengarnya. *** 
Calon mertua Cuan Ndui, Paman Ci, juga berasal dari propinsi Guandong, Kabupaten Khaphing, China Selatan. Sama halnya keluarga Kakek dan Nenekku. Paman Ci merupakan generasi pertama dalam keluarganya yang merantau keluar dari Tiongkok. Tempat pilihannya waktu itu adalah Nan-Yang—nama dalam bahasa mandarin untuk Indonesia sebelum merdeka. Paman Ci datang ke Indonesia pada pertengahan tahun 1930-an. Kota yang dipilihnya untuk menetap adalah Makassar. 
Putra kedua Paman Ci, jika masih hidup, telah berusia dua puluhlima tahun. Ketika Paman Ci merantau ke Indonesia, putra keduanya itu ditinggal karena dianggap masih terlalu kecil untuk dibawa ke Indonesia. Anak tersebut lalu tinggal bersama salah seorang pamannya. Suatu hari ketika berusia sepuluh tahun, putra kedua Paman Ci itu pergi ke hutan mencari kayu bakar. Sampai hari menjelang sore, dia tak kunjung pulang sehingga membuat pamannya khawatir. Dua hari kemudian, seorang pencari kayu lain menemukan jenazah anak itu di semak-semak hutan dalam keadaan mengenaskan. Tubuhnya sebagian tercabik-cabik, kemungkinan besar dia tewas karena diserang harimau. 
Kembali ke masalah perjodohan arwah ini, dua hari kemudian Sima Chi kembali menemui Nenek dan medapat kabar baik seperti yang diharapkannya. Sima Chi segera menemui Paman Ci. Paman Ci sangat senang mendengarnya. Dia pun melakukan persiapan. Selayaknya sepasang mempelai di dunia ini, hari baik untuk pernikahan pun dipilih, maskawin serta perlengkapan pengantin lainnya pun turut disediakan. 
Upacara pernikahannya dilaksanakan pada awal September 1962. Hari itu, sekitar pukul sembilan pagi, Sima Chi datang ke rumah Nenek. Dia memasang dupa di atas hiolo Cuan Ndui. Kemudian, di depan altar sembahyang para leluhur, dia meletakkan sebuah cermin, sekotak bedak dan pemerah pipi, juga gincu dan sisir. Lalu, dia mulai memberi aba-aba. 
"Silakan mempelai wanita berhias...." 
"Berdandanlah yang baik agar kau tampak cantik hari ini...." 
"Sebentar lagi calon suamimu akan datang menjemputmu...." 
Sima Chi terus berbicara, seolah-olah kepada 'orang sungguhan'. Sementara, dari balik pintu, Ayahku beserta kedua Pamanku menyaksikan keseluruhan prosesi dengan takjub.
Ayah sempat menyelutuk, "Benarkah Cie-Cie – kakak perempuan, betul-betul ada di sana?" 
"Entahlah," Paman Kaseng menyahut. "Masalahnya, di antara kita semua, hanya Sima Chi yang bisa berkomunikasi dengannya...." 
"Ssstt! Ssstt! Kalian jangan berisik!" potong Paman Kedua. "Bagaimana saya bisa mendengar dengan jelas aba-aba dari Sima Chi kalau kalian bicara?" 
Setelah merasa pengantin wanita telah cukup berhias, Sima Chi pun mengomentari seolah-olah dia bisa melihat Cuan Ndui, almarhumah kakak perempuan Ayahku. 
"Nah, sekarang Nona cantik sekali. Silakan menunggu datangnya mempelai pria...." 
Sebuah kursi pun disediakan dekat altar sembahyang para leluhur dan tidak bileh diduduki oleh siapa pun karena sang mempelai wanita tengah duduk menanti di sana. 
Sima Chi meninggalkan 'arwah Cuan Ndui' sebentar, dan mengecek perlengkapan yang disiapkan oleh Nenek. Selayaknya sebuah perkawinan seorang anak perempuan, Nenek telah menyiapkan sebuah koper berisi beberapa pasang pakaian dan sepatu baru, serta kosmetik dan perhiasan emas. Usai melihat semuanya telah dipersiapkan dengan semestinya, Sima Chi menutup dan mengunci koper tersebut. 
Kira-kira pada pukul sepuluh, datanglah mempelai pria, yang diwakili oleh seekor ayam jantan. Ayam jantan itu dipegang oleh putra ketiga Paman Ci, adik sang mempelai pria. Sima Chi pun seolah-olah mengatur posisi kedua mempelai menghadap altar leluhur. Lalu, Kakek dan Nenek beserta Kakek dan Nenek Buyut diminta duduk pada empat buah kursi berjejer dekat meja altar leluhur. 
"Sin Lang, Sin Niang—mempelai pria, mempelai wanita—beri hormat kepada langit dan bumi...." 
"Sin Lang, Sin Niang, beri hormat kepada para leluhur...." 
"Sin Lang, Sin Niang, beri hormat kepada Kakek-Nenek, Ayah dan Ibu...." 
"Sin Lang, Sin Niang, saling memberi hormat...." 
Demikianlah aba-aba yang diberikan oleh Sima Chi. Selama prosesi berlangsung, putra ketiga Paman Ci menuruti segala instruksi dari Sima Chi sambil memegang erat ayam jantan dalam pegangannya. 
Setelah semua prosesi selesai, sepasang mempelai bersiap menuju rumah mempelai pria. Untuk prosesi ini, Paman Ci telah menyiapkan tiga buah becak berhias. Becak pertama dinaiki oleh putra ketiganya yang memegang ayam jantan—simbol sang mempelai pria, becak kedua ditempati Cuan Ndui, dan Sima Chi menaiki becak ketiga sambil membawa koper yang telah dipersiapkan Nenek. 
Nenek membawa hiolo Cuan Ndui yang selama ini ditempatkan di samping altar Dewa Bumi. Di atas hiolo masih menyala sebatang dupa panjang. Ketika sampai di ambang pintu, Kakek membuka sebuah payung merah guna memayungi hiolo tersebut agar tidak terkena sinar matahari. Perlahan-lahan, Kakek dan Nenek melangkah ke becak kedua dan meletakkan hiolo tersebut secara hati-hati di dalam becak. 
"Daeng, pelan-pelan jalannya. Jangan sampai hiolo ini jatuh," pesan Kakek kepada si Tukang Becak. 
"Iya, Baba—Tuan!" 
Lalu, iring-iringan ketiga becak itu pun berangkat ke rumah Paman Ci. Usai kepergian ketiga becak tersebut, Kakek dan Nenek menjamu sanak keluarga yang hadir—selayaknya sebuah perjamuan pernikahan anak perempuan yang masih hidup. 
Usai mengantar hiolo Cuan Ndui ke rumah Paman Ci, si Tukang Becak yang memuat hiolo tadi kembali mencari Kakek dan Nenek. Dengan takjub dia berkata dengan logat Makassar yang kental.
"Baba, Nyonya, yang tadi Anda kasih naik ke becak saya cuma sebuah hiolo, kan? Kenapa saya rasa becak saya berat, seperti muat orang betulan?" 
Kakek dan Nenek saling pandang. Keduanya melongo, tak bisa menjelaskan fenomena gaib tersebut. *** 
Demikianlah, Cuan Ndui telah menjadi salah satu menantu perempuan Paman Ci. 
Hubungan antara Kakek dan Nenek dengan keluarga Paman Ci yang semula kurang akrab, kini semakin dekat karena mereka telah saling berbesan. Dalam bahasa mandarin, hubungan seperti ini disebut Sen Chin Chi—kekerabatan arwah. Jika dalam keluarga Kakek dan Nenek ada hajatan, mereka sudah mesti mengundang keluarga Paman Ci. Demikian pula sebaliknya. Setiap tahun baru Imlek, kedua keluarga itu mesti saling mengunjungi. Dan jika musim Ching Ming—ziarah kubur tiba, makam Cuan Ndui tidak hanya dikunjungi oleh keluarganya saja akan tetapi juga oleh keluarga suaminya. 
Jika semua hal di atas tidak dilaksanakan, menurut Sima Chi, konon si Arwah akan sedih karena merasa tidak dihargai. Mereka memang tak tampak, namun mereka tak bisa diabaikan. 
Pada pertengahan tahun 1970-an, suatu hari Sima Chi datang lagi menemui Nenek. Dia mengabarkan kalau Cuan Ndui dan suaminya telah memiliki ahli waris. Ahli waris ini adalah anak lelaki pertama dari putra ketiga Paman Ci. Dialah yang dijadikan anak angkat bagi arwah Cuan Ndui dan suaminya. Untuk seterusnya, anak itu hanya boleh memanggil orangtua kandungnya dengan sebutan Paman dan Bibi. Jika ini dilanggar, anak tersebut akan menjadi rewel dan sakit-sakitan. Dia pula yang akan mewarisi alwah atau papan sembahyang Cuan Ndui dan suaminya. Kelak jika dia menikah nanti, seperangkat perhiasan emas dalam koper yang dibawa Sima Chi sewaktu mengantar Cuan Ndui, berhak dimiliki oleh istrinya. 
Demikianlah, pada akhirnya Kakek dan Nenek punya satu orang cucu luar lelaki. Dan aku punya seorang sepupu lewat kekerabatan arwah ini. *** 
Pada pertengahan tahun 1980-an, Pemakaman Tionghoa Mantujangan yang terletak di Jalan Urip Sumoharjo, Makassar, dibongkar untuk membangun gedung kantor Gubernur Propinsi Sulawesi Selatan yang baru. 
Di area pekuburan yang memuat ribuan makam itu, sebagian besar makam dibongkar untuk dipindahkan. Sebagian kecil dibongkar untuk diperabukan. Sisanya lagi, yang tidak memiliki keluarga untuk mengurus pembongkaran, tinggal menunggu datangnya bulldozer dan excavator yang akan menghancurkan makam-makam tersebut, menggali tulang-belulang jenazah sekenanya, lalu menimbun kembali tanpa memeriksa apakah masih ada tulang-belulang yang tersisa. 
Pada waktu itu, usai mendapat pengumuman untuk memindahkan makam, keluarga Paman Ci datang meminta izin Nenek. Mereka akan mengambil alih urusan pembongkaran makam Cuan Ndui. Seonggok pasir di dalam makamnya akan dimasukkan ke dalam sebuah guci beserta sekeping koin perak. Guci itu nantinya akan diterbangkan ke Guandong, China, untuk dimakamkan di sisi suaminya. Nenek setuju. Sejak saat itu, keluarga kami tidak pernah lagi menziarahi makam Cuan Ndui pada waktu Ching Ming. *** 
Beberapa tahun yang lalu, ketika Paman Tertua akan melangsungkan pernikahan salah seorang putranya, dia begitu sibuk hingga lupa mengundang keluarga Paman Ci. 
Kira-kira seminggu sebelum acara berlangsung, Paman Tertua bermimpi bertemu seorang wanita usia awal lima puluhan yang cantik. Paman Tertua merasa wanita itu mirip seseorang.
Wanita itu tersenyum kepada Paman Tertua seraya berujar, "Koh—Kakak yang baik, apakah kau sudah lupa padaku? Ada hajatan sedemikian besar tapi kau tidak mengundang keluargaku untuk hadir...." 
Wanita itu lenyap seketika dan Paman Tertua siuman. Peluh dingin membasahi keningnya. "Wanita dalam mimpi tadi wajahnya mirip Ibu," pikir Paman Tertua. "Dia memanggilku Koh—Kakak...." 
"Astaga!" pekik Paman Tertua. "Aku lupa mengundang keluarga Paman Ci dalam pesta pernikahan nanti!" 
Keesokan harinya, dengan tergesa-gesa Paman Tertua menyiapkan beberapa buah undangan dan mengantarnya sendiri ke rumah Paman Ci. Sembari meyerahkan undangan, Paman Tertua minta maaf dan menceritakan perihal mimpinya tersebut.
Paman Ci mendengarkan lalu berkomentar, "Mereka memang tak tampak, namun mereka tak bisa diabaikan...." © 

0 komentar:

 

♥Bu Eva Journal♥ Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | web hosting