Jumat, 29 April 2011

Lelaki yang Pergi Bersama Gerimis By T. Sandi Situmorang

Diposting oleh eva yuanita di 4/29/2011 11:42:00 PM
Di bawah langit redup pagi hari, langkah lelaki itu mengayun mendekatiku. Seperti biasa, ke dua ujung bibirnya memanjang membentuk sebuah senyuman legit. Kali ini dia mengenakan kemeja lengan panjang berwarna coklat muda, celana hitam. Dasi berwarna abu rokok bercorak garis-garis miring hitam, mengikat gagah lehernya. 
Sekarang ia berdiri di hadapanku. Wajahnya sangat segar. Bibir dan dagunya terlihat membiru bekas cukuran. 
"Selamat pagi, Ibu!" ia ramah menyapa dan melempar senyum. 
"Selamat pagi juga," sahutku berusaha mengimbangi keceriaan yang dia tampilkan. 
Masih bersama senyum ia memasukkan uang ke dalam baskom kecil yang kuletakkan di depanku. 
"Terima kasih. Semoga Tuhan memberkatimu," kataku tulus. Tanpa melihat berapa uang yang dia beri padaku. Bagiku tidak menjadi soal berapa jumlahnya. Sedikit atau banyak, aku harus bersyukur dan melantunkan ucapan terima kasih. 
Dia tersenyum. Mata kami beradu. Hatiku bergetar. Mungkin tubuhku juga. 
"Mari, Ibu!" katanya sopan. 
Aku mengangguk. 
Dia berlalu. Leherku memutar, mengikuti langkahnya memasuki gedung berlantai sepuluh di belakang. Dia bekerja pada salah satu perusahaan di sana. 
Ya, dia karyawan kantoran. Aku hanya seorang pengemis. Dia juga katanya berpendidikan tinggi. Sedang aku tidak tahu apa itu pendidikan. Usia dia, kutebak, berkisar di angka 23 sampai 25 tahun. Sementara usiaku berada di angka 60-an. Kukatakan berada di angka 60-an, karena memang aku tidak tahu pasti berapa usiaku. Hanya kukira-kira saja. Kata orangtuaku dulu, usiaku hampir sama dengan pohon kapuk yang tumbuh di halaman belakang rumah kami, di kampung dulu. Dan sekarang, pohon kapuk itu tidak ada lagi. 
Aku dan lelaki itu memang berbeda. Bahkan sangat berbeda. Mustahil bersatu. Satu perbedaan yang bisa menyatukan, aku wanita dia lelaki. Hanya itu. 
Meski aku tahu perbedaan itu begitu mencolok, aku tidak pernah berniat memupus perasaanku padanya. Malah makin kupupuk. Dan akan kukatakan jika semakin subur. 
Aku mencintainya. Sejak pertama melihat. Ketika itu pagi. Gerimis jatuh melambat. Aku duduk terpaku di halte. Di depanku, baskom kecilku termangu kosong. Di seberang jalan, lelaki itu turun dari angkot. Dia berdiri sebentar di halte. Tubuhnya terlihat menjulang di antara yang lain. Kemeja biru yang dia kenakan sangat kontras dengan suasana yang redup. 
Kedua mataku terpaku padanya. Setelah jalan sepi kendaraan ia berlari kecil, menyeberangi jalan. Berteduh lagi di halte tempatku duduk. Ia berdiri di sampingku. Aroma parfum yang menguar dari tubuhnya bersama angin dan menari di depan penciuman, menimbulkan sensasi di dadaku. 
Aku mendongak. Melumat habis wajahnya. Amboi, Tuhan! Hatiku bergetar. Dadaku berdegup kencang. Nafasku memburu. Ia amat tampan. Garis-garis wajahnya begitu sempurna. Jika ibarat lukisan, pastilah ia hasil sapuan kuas seorang maestro. 
Pandanganku berbalas. Lututku gemetar hebat. Kemudian dia tersenyum. Kulihat gigi atas kanannya gingsul. Malu-malu aku membalas senyuman itu. Sebelum pergi, ia merogoh saku celana. Memasukkan uang ke dalam baskom. Kuambil uang kertas yang dia masukkan tadi. Pelan kuhirup baunya. Wangi sekali. Persis wangi tubuhnya. Sampai hari ini, uang pemberiannya itu masih aku simpan di balik bantal. 
Setelah ia hilang ditelan gedung bertingkat itu, kutarik nafas panjang-panjang. Berangsur debaran di dada hilang. Tidak dengan pesonanya. Ia semakin kuat menjerat. Wajahnya melekat erat di pelupuk mata. Aku ingin melihatnya lagi. *** 
Setiap pagi lelaki itu memberiku uang. Kurasa sisa kembalian ongkos. Saat waktunya makan siang, terkadang ia menemuiku. Membawa beberapa potong kue dan segelas air mineral. 
Seperti saat ini. Dia memberiku empat potong kue, di dalam sebuah kotak kecil berbentuk persegi empat. 
"Kue dari mana ini?" 
"Kebetulan tadi rapat. Ada kue lebih. Tiba-tiba aku ingat sama Ibu." 
Aku tersenyum. Pelan menggigit kue pemberiannya. Enak sekali. Yah, aku juga selalu ingat padamu. Bahkan tadi malam, aku bermimpi kau mendekap dan mencium pipiku dengan lembut. 
"Ibu sudah makan?" 
Pelan aku menggeleng. Jangan. Jangan panggil aku, Ibu. Panggil saja namaku. Sarbiah! Lebih manis dan akrab. 
"Tunggu sebentar, Bu!" dia bangkit. 
"Eh, mau ke mana?" 
"Beli nasi untuk Ibu." 
"Tidak usah. Kue ini cukup," Jangankan dengan empat potong kue. Dengan menatap wajahmu saja aku sudah cukup kenyang. Ah....
"Tak apa. Bisa Ibu makan sore nanti." 
Dia melangkah. Aku menatap punggungnya yang gagah dari belakang. Kurasa ia akan membeli makanan dari kantin kantornya. 
Aku menarik nafas. Mataku coba fokus menatap kendaraan yang lalu lalang. Berharap ada satu dua mobil melintas pelan lantas menepi.Kaca hitamnya menurun sedikit dan melempar selembar atau sekeping recehan untukku. 
Harap yang mustahil ternyata. Kendaraan-kendaraan itu tetap melaju bagai kuda. Tidak ada yang berkenan sekadar melirik padaku. Andai kakiku masih mampu menopang tubuhku, aku akan bangkit dari sini. Mengedar di tengah jalan. Menengadahkan baskom dengan tampang memelas ke mobil-mobil yang mengkilap itu. 
Tidak lama lelaki itu kembali sambil menenteng sebuah plastik hitam. 
"Ini makanan untuk Ibu," dia angsurkan padaku. "Lauknya sengaja dipisah. Biar tidak cepat basi." 
"Terima kasih." 
Dia tersenyum dan mengangguk. Ganteng sekali. Ia duduk di bangku halte. Merapikan rambutnya yang mulai gondrong dengan tangan kanan. 
Diam-diam aku menatap. 
"Ibu tinggal di mana?" 
Aku hanya tersenyum. Sungguh aku malu untuk menjawab. Tidak mungkin kukatakan kalau aku hidup di jalanan. Tanpa rumah dan sesiapa. 
"Ibu masih punya keluarga?" 
Tatapanku beralih. Menatap kendaraan yang lalu lalang. Juga orang-orang yang melintas dari depan. Debu menari tergilas ban-ban kendaraan yang melaju. Dari atas, matahari garang memanggang. Membuat siang terik. Hingga orang-orang yang berjalan bagai robot, enggan menoleh kanan-kiri. 
"Ibu belum jawab pertanyaanku." 
"Jangan tanyakan itu. Boleh?" suaraku seperti dirampok angin. Tapi kuyakin dia mendengar dengan baik. Buktinya dia mengangguk pelan. 
Setelah dia pergi, aku menghela nafas panjang. Pertanyaan yang dia ajukan memaksaku terlempar pada masa lalu. Padahal kalau saja bisa, ingin kuhapus semua dari memori otak. Agar rasa bersalah itu lenyap, atau setidaknya berkurang. 
Masihkah ia tetap sudi menemuiku jika ia tahu kalau aku seorang perempuan yang tega meninggalkan anak dan suami demi melacurkan diri? Yah, aku hanya seorang perempuan bekas pelacur. Yang tidak beruntung bisa menjadi germo setelah tubuhku sudah cukup mengerut untuk kujual. *** 
Sore mendung. Aku masih duduk di halte. Siang tadi, lelaki itu memintaku menunggu di halte ini. Hatiku berbunga. Kurasakan dadaku mengembang dan terlempar pada beberapa puluh tahun yang lalu. Serasa aku seorang gadis belia yang tengah menanti kedatangan pemuda idaman hati. Akan kami lewati senja ini berdua saja di sebuah taman yang penuh bunga. Atau hanya duduk berpelukan di tepi kolam dan menertawai dua angsa yang tengah bercumbu di tengahnya. 
Ia sudah datang. Bersama senyumnya. Melemparkan anganku. 
"Hari ini aku gajian. Ini gaji pertamaku," lelaki itu mengangsurkan selembar uang seratus ribu. Wajahnya cerah. Senyumnya sumringah. 
Tapi tidak denganku. Aku tidak butuh uang itu. Yang aku butuhkan hanyalah dirinya. Aku mau dia mengajakku jalan-jalan dan bercengkrama di sebuah mal. Atau menonton film horor di bioskop sembari mengunyah popcorn. Jika hantu dalam film muncul, aku akan menjerit lantas membenamkan kepala di dadanya yang lebar. Dan ia akan mengelus rambutku untuk sekadar menenangkan. Pada saat itu, aku hanya akan tersipu jika dia nekat mencium pipiku. 
Itu yang kumau. Bukan uangnya. 
"Kurang Ibu?" 
Ia menatap. Dengan keberanian yang susah payah kubangun, aku balas menatap. Tubuhku bergetar. Aku memaling. Tidak kuat aku menentang tatapannya. 
"Aku tidak butuh uangmu," kataku pelan. Memori yang demikian kuatnya menggerakkan bibirku. Masa belia, masa-masa indah dulu dan hari-hari yang memerah jambu adalah ironi. Astaga, aku terseret masa, dan mendapati seorang nenek tua yang ringkih tak berdaya. 
"Maksud Ibu?" Pemuda itu terlonjat sebelum kusadari kekeliruanku. Maaf, bukan aku sengaja! 
'Ajaklah aku menonton film di bioskop. Atau bercengkrama di sebuah cafe. Atau memadu cinta di sebuah taman yang romantis.' Kalimatku membeku di lidah, seperti abnus getas yang mudah patah. Dan hanya tergelincir di dalam hati. 
Ia terlihat masih bingung dan terkejut, bola matanya lurus ke wajahku. 
Mataku memejam sesaat. Memori jangan seret aku ke dalam dilema yang menyakitkan. Adalah sebuah masa lalu yang mesti dibuang, dan bukannya untuk menjadi sebingkai kenangan berdebu.
"Maaf, Ibu. Gerimis jatuh. Saya harus pergi. Ada janji dengan kekasih saya," wajahnya memutih. Sebelum benar-benar pergi, ia lemparkan uang seratus ribu itu ke dalam baskom.
Aku mengantar dengan tatapan. Lidahku patah untuk memanggil. Akhirnya ia hilang dari pandangan. Pergi bersama gerimis yang mulai menari. ©

0 komentar:

 

♥Bu Eva Journal♥ Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | web hosting