Sabtu, 30 April 2011

Kata - kata Jebakan By. Merlin Herlina

Diposting oleh eva yuanita di 4/30/2011 07:55:00 PM
PROLOG
Moyangku adalah keturunan Tionghoa perantauan dari Propinsi Guangdong, China bagian selatan dan telah menetap di Indonesia selama beberapa generasi. Aku berasal dari generasi keempat. Sejak lama, aku telah berkeinginan menghadirkan kisah-kisah tentang keluarga Tionghoaku. Di tanah perantauan yang kini juga telah menjadi tanah air kami, terdapat begitu banyak cerita, salah satu di antaranya adalah cerita berikut ini....***
Seperti juga bahasa-bahasa lain di seluruh dunia, di dalam bahasa Mandarin terdapat banyak sekali kata-kata yang berhomofon. 
Begitu pula dengan bahasa Kuantong Khaiphing, sebuah bahasa daerah dari Kabupaten Khaiphing, Propinsi Guangdong, China bagian selatan. Ada begitu banyak kata-kata yang serupa pengucapannya tetapi berlainan arti. Misalnnya kata mbai. Apabila diucapkan mbaei seolah-olah ada huruf e di antara huruf a dan i, itu artinya membeli. Kalau dilafalkan seperti kata 'baik' dalam bahasa Indonesia, artinya akan berubah menjadi menjual – kebalikan dari membeli tadi. Sedangkan jika disebut mbaai dengan huruf a sedikit panjang, artinya adalah beras. 
Contoh lain adalah kata sui. Jika diucapkan dengan nada bertanya, artinya adalah: 'siapa?'. Kalau disebut sambil menunjuk sesuatu, kemungkinan besar yang ditunjuk adalah benda cair karena 'sui' bisa juga berarti air. Nah, kalau disebut dengan nada ketus sambil marah-marah, artinya bisa berubah menjadi umpatan: 'sial!' 
Almarhumah Nenekku dari pihak Ayah, semasa mudanya pernah memiliki sebuah pengalaman yang tak terlupakan dengan kata-kata berhomofon ini. Kejadiannya pada suatu sore yang cerah di tahun 1933. Saat itu Nenekku berusia sekitar sepuluh atau sebelas tahun. Sore itu, dia sedang asyik berdiri di atas langkan – teras loteng rumahnya, ketika sesorang meneriakkan namanya. 
"Cungho! Cungho! Kemari!" 
Nenek melongokkan kepala melihat ke bawah. Rupanya yang memanggilnya adalah Alung, salah satu pegawai senior Kakek Buyut. 
"Apa?" Nenek balas berteriak dari atas langkan. 
Alung mendongakkan kepalanya ke atas. Dia berseru dalam bahasa Kuantongnya yang khas.
"Mana bisa aku bicara denganmu kalau kau masih di atas sana? Ayo, lekaslah turun!" 
Nenek memberenggut melihat Alung yang sedikit mendesak. Dengan enggan dia berbalik dari langkan, menuruni lantai kayu menuju bagian depan lantai dasar rumahnya yang berfungsi sebagai toko milik Kakek Buyut. 
Kakek Buyut adalah pemilik sebuah Tailor – tempat menjahit yang terkenal. Di dalam tokonya bergelantungan aneka setelan baju-baju safari pesanan Meneer-Meneer Belanda di samping bergulung-gulung kain wol impor. Suara derik-derik mesin jahit turut membaur di dalam toko tersebut, seolah-olah tak ada putus-putusnya. 
Nenek menyeruak dari tumpukan-tumpukan kain sampai akhirnya sampailah dia di hadapan Alung. 
"Ada apa Shu-Shu—Paman—memanggilku?" tanya Nenek. 
Alung yang saat itu sedang duduk pada tembok berbatu rendah di depan toko mengangguk.
"Aku hendak minta tolong. Daripada kamu hanya berdiri melamun memikirkan hal yang tidak berguna di atas sana, lebih baik kamu pergi belikan aku manisan di toko Haplong sana!" 
"Hah?" Nenek keheranan. "Shu-Shu sedang kepingin makan manisan? Manisan apa?" 
Toko Haplong yang terletak di Jalan Klenteng itu memang terkenal dengan beraneka ragam manisannya. Ada manisan impor dari Tiongkok yang terbuat dari buah plum dan berry. Juga ada manisan mangga, manisan jahe, manisan pala....
"Nama manisannya 'siusuilapmboi'!" Alung berkata cepat. 
"Apa namanya?" Nenek tidak jelas mendengarnya. "Si Si La Moi?" 
"Bukan, bukan!" Alung tampak tak sabar. "Siu Sui Lap Mboi... itulah namanya. Nah, sekarang kau sudah tahu kan?" 
Dalam bahasa Kuantong Khaiphing, kata manisan diucapkan 'mboi'. 
"Siu Sui Lap Mboi?" gumam Nenek satu per satu. "Manisan apa itu? Kenapa aku belum pernah dengar sebelumnya?" 
"Tentu saja kau belum pernah dengar!" seru Alung dengan pongah. "Itu manisan baru yang harganya mahal! Tidak sembarangan disimpan dalam kaleng dan dipajang di depan toko. Untuk membeli manisan itu, kamu harus masuk sampai ke dalam. Temuilah si Tauke dan mintalah padanya. Sebab manisan itu ditaruh pada bagian dalam di belakang meja kasir." 
Nenek mangut-mangut mendengar penjelasan Alung. Lalu, Alung merogoh dari saku celananya secarik uang kertas kemudian diberikannya kepada Nenek. 
"Ini satu gulden, tolong belikan satu ons, ya!" 
"Wah...!" Nenek takjub menerima uang dengan nilai sebesar itu. Pada zaman itu, uang satu gulden seperti ini sudah bisa dipakai buat membeli berkilo-kilo manisan dan permen impor di toko Haplong. 
"Nah sekarang kau tunggu apalagi? Cepat pergi sana!" kata Alung sambil mengibaskan tangannya. Nenek membalikkan badan bersiap untuk pergi. Baru beberapa langkah Nenek berjalan, Alung berteriak lagi.
"Kamu masih ingat nama manisannya, kan?" 
Nenek berbalik lagi ke belakang dan balas berseru, "Ya, ya! Namanya Siu Sui Lap Mboi, kan?"***
 Nenek cukup berjalan kaki saja menuju toko Haplong. Toko Haplong yang terletak di Jalan Klenteng itu memang dekat dari rumah Nenek yang membelakangi pelabuhan Kota Makassar. Setelah kurang-lebih sepuluh menit berjalan, Nenek menyeberang jalan ke arah pintu gerbang klenteng Dewi Sien Ma, alu berbelok ke kiri. Tiga rumah di sebelah kiri Klenteng Dewi Sien Ma itulah toko Haplong berada. 
Toko Haplong sebenarnya merupakan toko kelontong yang menjual barang-barang khas kebutuhan orang-orang Tionghoa perantauan. Dupa, lilin, paidon, hiolo – tempat memasang dupa, memenuhi rak-rak depan toko. Pada bagian tengah terdapat kaleng-kaleng yang berisi berkilo-kilo jamur hioko, jamur kuping, putik bunga sedap malam, bawang putih, ebi serta aneka bumbu masakan khas orang Tionghoa lainnya. Pada bagian belakang dekat meja kasir, berjejerlah dalam toples kaca besar aneka manisan, kembang gula serta permen coklat impor dari Holland. 
Selain terkenal akan barang-barang dagangannya, toko Haplong juga terkenal dengan pemilik tokonya yang berpenampilan khas. Tauke si pemilik toko berusia sekitar pertengahan empat puluhan, berperawakan besar-tinggi dan gemar berkaus singlet. Kedua matanya sipit dan dia jarang tersenyum. Sehingga, bagi anak-anak seusia Nenekku pada waktu itu akan menjadi gentar jika melihatnya. 
Perlahan-lahan Nenek menghampiri Tauke yang sedang duduk di meja kasirnya sambil menjentik-jentikkan sempoa. Ketika dia merasakan kehadiran Nenek, tangannya berhenti menjentik dan wajahnya terangkat memandang Nenek lurus-lurus. 
"Cari apa?" tanyanya datar. 
"Hm... Shu-Shu...," ujar Nenek ragu-ragu. "Aku mau minta seons manisan Siu Sui Lap Mboi." 
Tauke mengerutkan keningnya. 
"Manisan apa?!" 
"Siu... Sui... Lap... Mboi," Nenek mencoba menyebutnya satu per satu. 
Tiba-tiba wajah Tauke mengkerut. Kedua matanya memicing seperti dua bilah pedang menatap tajam ke arah Nenek. 
"Kau bilang manisan Siu Sui Lap Mboi, hm...?" desis Tauke menyeramkan. 
Nenek berfirasat buruk.Sepertinya dia barusan telah mengucapkan kata-kata yang salah. Tapi apa yang salah dengan nama manisan itu? 
"Ya, ya, benar Siu Sui Lap Mboi, Shu-Shu!" Nenek berujar cepat. Namun sejurus kemudian Nenek mulai ketakutan, dan mundur tiga langkah dari Tauke. Sebab Tauke tiba-tiba berdiri tegak dari kursinya dan tangannya menggebrak meja. 
"Anak siapa kamu, hah?! Siapa nama nama Bapakmu?! Dasar anak perempuan kurang ajar! Berani benar kamu mengucapkan kata-kata sial itu di toko ini, di depan semua barang-barang daganganku!" 
Nenek terkejut bukan kepalang. Sosok Tauke itu kini tampak seperti raksasa bersuara nyaring. Matanya yang sipit itu kini membelalak besar seperti akan keluar dari rongga matanya. Nenek gemetaran. 
"Cepat kau keluar dari sini!" Tauke berteriak sambil melempar sebuah sandal kulit yang dikenakannya. Nenek berkelit. Melihat sasarannya meleset, Tauke semakin marah lagi. Diambil sandalnya yang satu lagi dan diacung-acungkannya ke arah Nenek. 
"Kau masih belum pergi juga?! Baik, akan kupukul kau! Awas!" 
Nenek sadar kalau dirinya dalam masalah besar apabila tetap tinggal di toko tersebut. Dengan segera Nenek mengambil langkah seribu. Sambil mengangkat sedikit rok Cheongsam-nya yang panjangnya sedikit di bawah lutut, Nenek lari terbirit-birit. Tauke mengejar Nenek sampai di depan Klenteng Dewi Sien Ma. Sesampainya di sana dia berhenti kemudian berteriak nyaring.
"Awas kalau kau berani muncul di tokoku lagi! Kalau kamu datang, aku pasti akan memukulmu dengan rotan!"***
Nenek berlari terus demi menghindari kejaran Tauke. Usai berbelok di sebuah gang dan yakin Tauke tidak mengejarnya lagi, barulah Nenek pelan-pelan mengatur napasnya kemudian berjalan pulang ke rumahnya. Sepanjang perjalanan pulang itu, Nenek benar-benar tak habis pikir mengapa dia menjadi salah satu korban keisengan Alung lagi. 
Alung sudah lama bekerja kepada Kakek Buyut, bahkan sebelum Nenek lahir. Alung – sudah menganggap Nenek serta saudara-saudaranya yang lain seperti anak-anaknya sendiri. Anehnya, meski berwajah lumayan, ramah dan humoris, Alung belum juga menikah padahal usianya sudah hampir empatpuluh tahun. Para Mak Comblang yang dulu hendak mengatur perjodohannya kini enggan. Sebab, Alung senang menggoda mereka, bahkan kadangkala sampai mengusili mereka hingga kelewatan. 
Nenek sudah hampir sampai di rumah. Dari kejauhan dilihatnya Alung masih duduk-duduk di atas tembok batu depan toko dan kini sambil mengisap rokok kegemarannya. Rasa kesal mulai merambat naik ke atas kepala Nenek. 
"Bagaimana? Sudah beli manisannya?" tanya Alung ketika Nenek mendekat ke arahnya. Salah satu alisnya mencuat naik. Dia nyengir. Senyumannya mengandung ejekan. 
"Tidak!" sahut Nenek ketus."Ini uang Shu-Shu kukembalikan!" 
Alung menerima uang itu kembali dan bertanya lagi tanpa perasaan, 
"Apa yang dikatakan Tauke toko Haplong sewaktu kau meminta manisan ini?" 
Saat itulah kekesalan Nenek meledak dan dia berkata dengan suara keras "Dia bilang manisan seperti itu tidak ada! Dia mengataiku kurang ajar, dan melempariku dengan sandal! Bukan hanya itu, dia mengusirku dan mengejar-ngejarku sambil berteriak-teriak! Belum pernah aku dibuat semalu ini! Aku tidak mau kembali ke toko itu lagi!" 
Alung diam sejenak untuk meresapi kata-kata Nenek. Tak lama kemudian, meledaklah tawanya. 
"Hahaha... Cungho, tadi itu pasti lucu sekali! Hahaha...!" 
"Apanya yang lucu?" Nenek melotot sambil berkecak pinggang. Alung masih juga tertawa sambil memegang perutnya. 
Lalu muncullah Ahui, pegawai senior Kakek Buyut yang lain. Melihat Alung yang tertawa geli dan wajah Nenek yang marah, dia menyela.
"Memangnya manisan apa yang kau minta Cungho belikan untukmu, Lung?" 
Alung mejawab, "Aku menyuruhnya membelikanku manisan Siu Sui Lap Mboi...." 
Ahui menggeleng-gelengkan kepala sambil berkata, "Pantas saja...." Dia lalu berputar ke arah Nenek dan berkata prihatin. "Kau sudah ditipu Alung. Pantas saja Tauke itu memarahimu. Sebab kau telah mengucapkan kata-kata sial di tokonya." 
"Kata sial?" Nenek melongo. 
Berbeda dengan Alung, Ahui orang yang pendiam dan serius. Dia pun menjelaskan kepada Nenek.
"Tidak ada manisan Siu Sui Lap Mboi di toko manapun, Cungho. Kata-kata itu maknanya tidak baik. 'Siu' berarti memperoleh. 'Sui' berarti kemalangan, 'Lap' berarti tergulung dan 'Mboi' yang sama ucapannya dengan 'mboi' yang berarti manisan—artinya adalah semuanya. Secara harfiah, Siu Sui Lap Mboi berarti 'memperoleh kemalangan hingga tergulung semuanya'. Kau bilang kata-kata seperti itu di dalam toko orang, artinya kau menyumpahi pemiliknya agar 'jatuh bangkrut dan gulung tikar', begitu maksudnya, Cungho." 
Nenek akhirnya mengerti mengapa Tauke tadi menguber-ubernya sampai sedemikian rupa. Ternyata dia telah mengucapkan kata-kata yang pantang diucapkan orang manapun di tempat usaha. 
Alung masih saja tertawa. Kekesalan Nenek muncul lagi. Dikepalkannya kedua tangannya seraya berteriak kepada Alung.
"SHU-SHU JAHAAAAATTT!"***
Lima puluh tahun kemudian, Nenek kembali menceritakan kejadian itu kepada kami, cucu-cucunya sambil tertawa-tawa. Tapi tentu saja pada hari Nenek mengalami peristiwa itu, dia tidak bisa tertawa. Bahkan Nenek baru berani memasuki toko Haplong lagi setelah beberapa tahun sesudahnya. Sebuah pelajaran yang bisa dipetik adalah jangan sekali-kali mengucapkan empat buah kata ini di tempat usaha milik orang Tionghoa yang mengerti bahasa Kuantong Khaiphung. Kalau tidak, Anda bisa jadi dimaki oleh si empunya toko atau dikejar-kejar dengan sandal.
Pengalaman Nenekku ini ibarat sebuah 'manisan' yang rasanya tak terlupakan. ©

0 komentar:

 

♥Bu Eva Journal♥ Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | web hosting