Sabtu, 30 April 2011

Dermaga By. Lan Fang

Diposting oleh eva yuanita di 4/30/2011 01:00:00 AM
Aku sedang berada di dermaga. Aku sangat suka dermaga. Dari pinggir dermaga, aku bisa melihat laut lepas dan langit luas. Menurutku, dermaga adalah sebuah tempat yang nyaman. Dermaga juga sebuah sandaran. Setelah jauh melaut, bukankah harus kembali? Dan dermaga adalah tempat melabuhkan semua penat. 
Ini dermaga di ujung laut Gresik. Hanya sebuah dermaga sederhana yang ditata dari kayu. Laut sedang surut sehingga tepinya tampak seperti lumpur. Ada beberapa ketam kecil berlarian di atasnya. Perahu-perahu kayu sedang tertambat. Ada nelayan yang sedang menjahit jaring. Juga ada yang sekadar cangkruk menunggu waktu melaut. 
Dermaga ini jauh berbeda dengan Dermaga Docklands di Melbourne yang pernah kukunjungi. Itu dermaga tempat merapat kapal-kapal motor. Laut dan langitnya tampak sangat biru. Di tepinya ada sebuah bar. Di sana kami pertama kali bertemu sekaligus berpisah tanpa kata-kata perpisahan. 
Sebetulnya sebuah dermaga tidak terlalu perlu untuk diingat-ingat. Tepatnya, aku tidak perlu mengingat-ingat dia lagi. Bukankah kami sudah berpisah? Dan tidak ada yang perlu diingat dari perpisahan. 
Tetapi dermaga selalu membuatku teringat kepadanya. Ia memiliki sepasang mata yang sangat kukagumi. Juga tak mungkin kulupakan. Sepasang mata indah yang teduh. Bening seperti pantulan cermin. Bagai langit yang becermin pada laut. Atau laut yang mengaca kepada langit. Entahlah. Itu tidak terlalu perlu bagiku. Karena aku melihat pantulan diriku di matanya. 
Tetapi aku bukan sekadar menyukai matanya. Aku juga menyukai rambutnya yang berwarna seperti helai-helai jagung. Terlebih lagi bibirnya yang terlihat segar. Kupikir, itu bibir yang enak untuk dicium. 
"Aku tidak merokok," jawabnya ketika hampir setengah hari kami bersama. Ia sama sekali tidak mengeluarkan sebatang rokok pun. 
Pantas saja! Aku suprise sekali. 
"Tapi aku suka nge-bir," sambungnya sambil tertawa. Tampak menarik sekali. 
Sejak hari itu ia selalu mentraktirku minum sambil duduk-duduk di pelataran Dermaga Docklands. Ia pemilik Fish Bar. Sebuah bar yang tidak terlalu besar juga tidak terlalu kecil di tepian Dermaga Docklands. Ia meletakkan banyak kursi dan meja bulat di pelatarannya. Sehingga dari pelataran bisa mencium udara laut. Udara yang membuat dadaku terasa lapang ketika mengirupnya dalam-dalam.***
 Aku sudah seminggu di Melbourne. Kantorku sebuah perusahaan yang bergerak di bidang periklanan sedang membuat iklan untuk promosi sebuah biro perjalanan. Aku diberi waktu sebulan untuk memotret Australia. Dan kupilih Melbourne sebagai tempat tinggalku untuk sementara. Karena bagiku Melbourne tidak sesibuk Sydney. 
Aku kerasan di sini. Aku sangat menikmati trotoar Melbourne yang lebar, rapi, dan bersih. Tidak banyak kendaraan lalu lalang dengan berisik, berdebu, dan semrawut. Mataharinya juga tidak seterik Surabaya. Sehingga aku lebih sering berjalan kaki bila hendak menjemput senja di Dermaga Docklands. 
Awal perkenalanku dengannya sangat klise. Seperti adegan roman remaja saja. Sebagai pemilik Fish Bar sudah tentu ia harus ramah kepada pengunjung barnya. Memberikan senyum, menyapa, "Hallo, how are you?" dan "thank you" untuk segelas minuman yang kubayar. Tidak ada yang istimewa. 
Lalu aku menempati tempat duduk kesukaanku. Kursi di pelataran yang agak di sudut dan menghadap laut. Aku lebih suka duduk di luar daripada di dalam bar. Karena di luar aku bisa mendengar nyanyian angin. Pekik burung yang berbaur dengan deburan gelombang yang pecah terantuk dermaga. Melihat kapal-kapal motor yang merapat dan terayun-ayun. Dan mencium wangi laut. Sedang di dalam hanya ada orang-orang yang berbicara dan musik yang kadang ingar-bingar. 
Kadang aku membaca. Kadang aku menulis. Kadang memotret. Kadang cuma membuang pandang. 
Kemudian ia datang ke kursiku. 
Besoknya ia datang duduk lagi. 
Lusanya kembali datang, duduk dan bercerita. 
Hari-hari berikutnya, ia selalu menanyakan bila aku tidak datang. 
Lalu aku jatuh cinta. Aku merasa pasti kalau aku jatuh cinta kepadanya. Karena aku sudah terlalu sering jatuh cinta. Jadi aku tahu persis gejala orang jatuh cinta. 
Bagi orang jatuh cinta, waktu bersama akan terasa pendek dan waktu berpisah terasa sangat panjang. Saat bersama, tidak ada yang dilakukan kecuali hendak menyimpan matahari. Agar matahari tidak cepat-cepat tergelincir di pengujung waktu. Sedang ketika berpisah, serasa tidur di atas bara. Gelisah ingin rembulan segera menyingkir. 
Dan gejala itu terjadi padaku! 
Apalagi saat itu ia berkata, "Aku punya dua tiket pub untuk malam ini. Aku mau kamu menemaniku. Bagaimana?" 
Sudah tentu aku mau! 
Bukan hanya karena aku memang ingin berkencan dengannya. Tetapi caranya mengajakku adalah cara yang tidak pernah dilakukan oleh para laki-laki di Indonesia yang kukenal. Semua selalu berkata, "Apakah kau mau pergi denganku? Atau, "Kalau kau mau pergi denganku, aku juga mau pergi denganmu." Atau, "Terserah kamu." 
Menurutku, itu semua kalimat yang sangat tidak nyaman untuk perempuan. Kalimat ajakan yang hanya untung-untungan. Niat berkencan yang diibaratkan permainan iseng-iseng berhadiah. Syukurlah bila mendapat hadiah. Tetapi juga tidak masalah bila tidak mendapat hadiah. Toh hanya sekadar iseng. 
Aku tidak suka laki-laki iseng. Karena aku bisa lebih iseng dari laki-laki. Tapi aku juga tidak suka dengan laki-laki serius. Karena aku juga punya keseriusan yang melebihi laki-laki. Aku suka laki-laki cerdas. Laki-laki yang bisa mengisengi keseriusan dan menyeriusi keisengan. 
Kurasa ia cukup cerdas untuk menangkap seleraku. Kalimat ajakannya itu, "...aku mau kamu menemaniku," terus terang tetapi tidak murahan. Tidak malu-malu kucing tetapi juga tidak sok jaim. Kalimat yang membuatku tidak bisa menolak karena merasa terhormat. Kalimat yang membuatku jatuh cinta. 
Sempat aku berpikir, apakah tidak terlalu cepat bagiku untuk jatuh cinta kepadanya? Bukankah yang datang cepat juga akan segera pergi? Tetapi mungkin tidak. Bukankah cinta bisa datang tiba-tiba seperti pencuri yang masuk lewat jendela? Tidak pernah permisi mengetuk pintu terlebih dahulu. 
Terpikirkan pula olehku, bukankah yang terlalu terus terang akan segera membosankan? Tidak sempat dimainkan oleh perasaan gelisah karena kerinduan. Apakah tidak lebih mengasyikkan memetakan perasaan yang dikejar tanda tanya? Terusik perasaan untuk mencari jawaban. 
Tetapi, baiklah, aku bukan gadis remaja yang jatuh cinta pertama kali. Bukan seperti gadis belasan tahun yang dilanda cinta monyet. Lalu cuma bisa mesem-mesem cengengesan seperti monyet. Itu kuno. Terlalu membuang-buang waktu. Aku perempuan dewasa yang sudah bosan dengan cinta yang lalu lalang. Aku wanita matang yang butuh sandaran. Aku perahu yang mencari dermaganya. 
Hei, ingat! Dia bukan laki-laki sebangsa. Sudah bukan rahasia lagi, akan banyak kesulitan mempunyai pasangan dari budaya yang berbeda. Debat itu masih berseliweran di kepalaku.
Tapi, logikaku selalu saja kalah dengan perasaan.***
Dan, pergilah kami malam itu ke sebuah ruang yang memekakkan dengan dentum irama yang menghentak. Tubuh-tubuh meliuk, berpelukan dan berciuman, seperti kesurupan. Lampu spootlight seperti kilat menyambar-nyambar. Musik yang berdentam keras seakan menghantam dada. Jantungku seperti meloncat. Telingaku jadi tuli. 
Dalam kilatan lampu dan ingar-bingar, maka orang-orang harus merapatkan tubuh bila hendak berbicara. Juga merapatkan wajah. Merapatkan mulut ke telinga. Mungkin untuk berbicara dan berteriak. Mungkin juga untuk mencium dan mengunyah telinga. Semua tidak jelas terlihat. Tetapi jelas bisa dirasakan. 
Makin malam semakin penuh. Bukan cuma dipenuhi orang-orang berambut pirang dan bermata pantulan cermin. Tetapi juga orang-orang dengan rambut hitam dan berwajah Asia sepertiku. Mereka menggerakkan seluruh anggota tubuh dari kepala sampai kaki dengan merdeka. Aku canggung. Jadi kami cuma duduk di kursi bundar bar saja. Tetapi cukup bisa kunikmati. Toh, tubuhku tanpa bisa dicegah juga bergoyang-goyang mengikuti beat-beat lagu. Kurasakan ada kebebasan yang berbeda dengan yang kurasakan saat memandang laut dan langit dari dermaga. 
Bila dari tepi dermaga, aku merasa ada kebebasan yang menyatukan diriku dengan alam. Aku merasa begitu kecil dan tak berdaya. Sehingga aku selalu membutuhkan dermaga, merindukan sandaran, ingin tempat untuk bertambat. 
Tetapi, di sini, aku merasa bebas dan berkuasa dengan diriku sendiri. Diriku adalah milikku. Diriku ada di dalam tubuhku. Semakin lama aku membesar. Karena tanpa membesar aku tidak bisa mengatasi diriku yang harus bersaing dengan tubuh-tubuh yang lain. Maka, kugerakkan tanganku ke atas, kepalaku ke kanan atau ke kiri atau kakiku melompat. Di sini aku tidak membutuhkan dermaga. Walaupun tubuhku seperti sekoci oleng tak ada nakhoda. 
"Are you okey? Kamu tidak mabuk?" Ia bertanya kepadaku dengan menegaskan kata 'tidak'. Ia kelihatan khawatir karena aku sudah menghabiskan gelas bir yang ketiga. 
"I am okey. Aku belum mabuk," jawabku juga menegaskan kata 'belum'. 
Lalu sambil setengah berteriak aku merapatkan mulut ke telinganya. Tetapi tidak punya keberanian untuk mencium atau mengunyah telinganya — padahal aku ingin. Kuceritakan bahwa aku tidak pernah mabuk, berteriak-teriak lalu muntah di tempat umum. Itu memalukan! 
"I am a drinker. Not a drunker!" seruku. 
"Aku mulai mabuk. Kamu bisa menjagaku, please?" ujarnya ganti setengah berteriak ketika merapatkan mulutnya ke telingaku. Tetapi ia tidak mencium atau mengunyah telingaku — padahal aku ingin. Sehingga aku meragukan kadar mabuk yang dikatakannya. 
Bagaimana mungkin laki-laki yang mengaku mulai mabuk tetapi tidak segera menyaplok dan mengunyah telinga perempuan yang sudah menempel ke mulutnya? Bukankah laki-laki yang tidak mabuk saja pasti melahap rakus telinga perempuan yang ada di depan mulutnya? 
Banyak perempuan keliru besar. Para perempuan sibuk menggantungkan bermacam aksesoris di telinga. Baik yang imitasi sampai kilauan permata. Itu lambang kecantikan. 
Padahal banyak laki-laki mengatakan bahwa telinga perempuan justru lebih seksi ketika tanpa mengenakan apa-apa. Karena lelaki bisa bebas mengunyahnya seperti kerupuk. Atau menjilatinya seperti es krim. Kenikmatan pasti akan terganggu bila lidah yang menyelip di belakang cuping telinga mendadak tertusuk ujung giwang. 
Nah, aku tidak memakai apa-apa di telingaku. Dan, aku sudah menyerahkan telingaku bulat-bulat di depan mulutnya. Tetapi tidak juga telingaku berada di dalam mulutnya. Sampai malam habis seperti kami menghabiskan bergelas-gelas bir tanpa mabuk. Kami tetap saja tidak saling mengunyah telinga. 
Pasti ada sesuatu yang salah di sini, pikirku. 
Mungkin memang ada sesuatu yang salah. 
Seperti biasa sore itu kuhabiskan di tepian Dermaga Docklands. Tetapi di Fish Bar ada sesuatu yang tidak biasa. Kuhitung-hitung sudah hampir seminggu ini ia tidak tampak. Aku rindu matanya yang biru. Sebagai gantinya, ada lelaki lain di belakang meja bar. Lelaki cokelat bermata seperti buah kenari dengan wajah yang sangat Asia. Ia tampak maskulin dengan wangi tembakau. Tetapi ia sangat mahal senyum dan sangat irit kata-kata. Mata buah kenarinya menghujamkan pandangan yang membuatku salah tingkah. Tepatnya aku merasa jadi bersalah. 
Setelah membayar minuman, aku cepat berlalu dari hadapannya. Padahal ada keinginan untuk menanyakan ke mana laki-laki bermata biru itu? Tetapi kubatalkan niatku ketika bertubrukan dengan pandangannya. Matanya seperti ingin menelanku. 
Ternyata aroma tembakau itu mengikutiku. Mata buah kenari itu sekarang duduk di depanku. Bibirnya mencoba membuat lengkung sebuah busur. Tetapi tetap saja tidak bisa menipu wajahnya yang keruh. Padahal langit dan laut di belakangnya masih tetap biru. 
"Kamu cantik dan menarik. Pantas ia tertarik padamu. Tetapi kurasa tidak sulit bagimu membuat laki-laki lain tertarik padamu," kata-katanya menimpa debur kapal motor yang merapat ke dermaga. 
Aku masih belum bisa meraba ke arah mana bicaranya. Kupikir lebih baik menunggu kelanjutan kata-katanya. Kelihatannya ada hal yang ingin disampaikan kepadaku. Maka, pertanyaan jadi bergelantungan seperti pelampung-pelampung yang diikat di tepi dermaga. 
Lalu kenapa kalau aku cantik dan menarik? Kali ini aku merasa takut untuk mendengarkan kelanjutan kata-katanya. 
Kularikan gelepar ketakutanku dengan membuang pandang ke ujung dermaga. Tapi di sana sepi. Tidak ada seorang pun. Tidak ada dia. Bahkan juga tidak tampak seekor burung terbang. Yang kelihatan hanya kapal-kapal motor yang membisu. Jauh di belakangnya, kelihatan gedung-gedung tinggi seakan tak terjangkau. Kelihatan begitu dingin walau matahari sore memantulkan kilau dari jendela kacanya. Memantul kembali ke permukaan laut. Untuk dipantulkan lagi ke permukaan mataku yang bekerjap-kerjap membuang silau. 
Tapi gelisahku tak kunjung hilang. Aku tahu ada sesuatu di ujung lidah lelaki yang duduk di depanku itu. 
"Kapan tugasmu selesai? Kapan kau pulang ke Indonesia?" Ia bertanya. 
"Minggu depan," suaraku seperti mengambang. 
Kali ini ia tersenyum. Sebuah senyum kelegaan. "Kau pasti bisa menemukan dermaga lain yang lebih nyaman." Kali ini suaranya jauh lebih ramah. 
"Kenapa?" 
"Because I love him very much. Jangan membuatnya jatuh cinta kepadamu, please." 
Oh! Pantas saja langit dan laut di Dermaga Docklands luas tak bertepi. Seperti hatinya. Ternyata aku telah salah membacanya. ©

2 komentar:

Obat Sakit 2011 mengatakan...

dermaga yang sangat unik dan indah gan

eva yuanita mengatakan...

hu uh indah buangett wkwkkkkk peaceee...

 

♥Bu Eva Journal♥ Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | web hosting